Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bertambah Panjang, Ini Daftar Emiten Properti dalam Pusaran Pailit

        Bertambah Panjang, Ini Daftar Emiten Properti dalam Pusaran Pailit Kredit Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Satu demi satu emiten properti terseret dalam pusaran pailit. Secara sederhana, pailit adalah sebuah keadaan seorang atau perusahaan yang memiliki kesulitan untuk membayar utang. Secara istilah, pailit juga dapat dikatakan sebagai kebangkrutan. 

        Mirisnya, pailit tak pandang bulu dalam membidik sektor yang menjadi target, termasuk juga properti. Berdasarkan data yang dihimpun Warta Ekonomi, ada empat emiten besar yang masih dan sempat berada dalam pusaran pailit. Siapa sajakah itu, simak ulasan berikut ini.

        Baca Juga: 4 Perusahaan Ini Tersandung Skandal Pailit dalam Sebulan Terakhir

        1. PT Cowell Development Tbk (COWL)

        Emiten properti yang juga menjadi pemilik Atrium Senen ini diputuskan pailit oleh PN Jakarta Pusat pada 17 Juli 2020 lalu. Kasus pailit Cowell Development berawal ketika kreditur bernama PT Multi Cakra Kencana Abadi mengajukan permohonan pailit pada 17 Juni 2020. 

        Permohonan pailit dengan nomor perkara 21/Pdt. Sus/Pailit/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst didasarkan atas utang Cowell Development kepada kreditur senilai Rp53,4 miliar yang jatuh tempo pada 24 Maret 2020 lalu. Hal itu diakui oleh pihak manajemen perusahaan.

        "Utang Cowell Development kepada kreditur yang mengajukan gugatan pailit tersebut setara dengan 1,93% dari total utang perusahaan sesuai dengan laporan keuangan per tanggal 30 September 2020," jelas Cowell Development beberapa waktu lalu.

        Baca Juga: Laba Emiten Properti LQ45 Ambruk, Siapa yang Paling Terpuruk?

        Berkenaan dengan itu, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan untuk untuk menghentikan sementara perdagangan saham bersandi COWL itu sejak perdagangan sesi II pada 13 Juli 2020 karena mengalami kesulitan untuk melakukan pembayaran utang atau pailit.

        Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 3 BEI, Goklas Tambunan, mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan sehubungan dengan adanya permohonan pernyataan pailit keuangan dan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perseroan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

        “Ini mempertimbangkan kondisi perusahaan, maka Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara (suspensi) perdagangan efek COWL,” ucapnya, dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (14/7/2020).

        Di tengah keadaan pailit tersebut, manajemen COWL mengaku kecewa terhadap keputusan kreditur yang lebih memilih menggugat pailit daripada menempuh jalur damai dengan beragam proposal perdamaian yang telah diajukan oleh perusahaan.

        “Pimpinan dan seluruh manajemen COWL memutuskan untuk merespons putusan pailit yang dikeluarkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui tiga strategi atau prioritas utama, yaitu terus mengupayakan perdamaian dengan semua kreditur, memastikan kebutuhan dan kepentingan semua konsumen terpenuhi, serta mempertahankan sedapat mungkin seluruh karyawan perseroan yang ada saat ini,” demikian pernyataan Pikoli Sinaga mewakili pimpinan dan seluruh direksi COWL.

        Lebih lanjut, manajemen COWL juga berupaya untuk meminimalkan berbagai ketidakpastian dan spekulasi yang muncul sehingga dapat memperkeruh keadaan. Pada waktu bersamaan, Pikoli juga mengimbau karyawan COWL untuk berjuang bersama dalam memenuhi hak pada konsumen dalam kasus tersebut.

        “Hal ini penting untuk meminimalisasi ketidakpastian dan spekulasi yang berpotensi semakin membingungkan dan merugikan bagi konsumen, karyawan dan pemangku kepentingan lainnya,” sambungnya.

        Penasihat hukum COWL, Jimmy Simanjuntak, mengatakan bahwa “Saya memuji sikap dan kebijakan yang dipilih manajemen Perseroan dalam merespon putusan pailit Pengadilan Niaga, yaitu tetap mengutamakan kepentingan konsumen dan mempertahankan karyawan.”

        Menurut Jimmy selain penting untuk mendukung upaya perdamaian dengan semua kreditur, kebijakan tersebut juga menepis berbagai fitnah yang tidak beralasan, misalnya fitnah bahwa COWL secara sukarela dipailitkan demi menghindari kewajiban kepada konsumen dan hutang kepada kreditur.

        “Pada umumnya perusahaan yang merekayasa kepailitan akan langsung menghindari bertemu dengan kreditur karena sudah ditangani oleh kurator. Selain itu, juga biasanya perusahaan tersebut akan segera melakukan PHK massal karena tidak bisa beroperasi lagi. Yang dilakukan COWL justru sebaliknya, yaitu COWL terus mengupayakan perdamaian, memastikan agar konsumen mendapatkan haknya, dan berjuang mempertahankan seluruh karyawan,” tambahnya.

        2. Armidian Karyatama

        Emiten properti milik Benny Tjokrosapoutro, yaitu PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY) resmi menyandang status pailit sejak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada 27 Juli 2020. Putusan pailit tersebut merupakan tindak lanjut dari gugatan PKPU yang diajukan oleh Sherlin Novita Sari, Hadi Santosa, dan Franciscus Wiryadi Busono pada 2 Juli 2020 lalu.

        Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menetapkan ARMY dalam keadaan PKPU Sementara selama 45 hari sejak tanggal putusan. Berkenaan dengan itu, Majelis Hakim membentuk Tim Pengurus PKPU ARMY yang terdiri atas Yudhi Wibhisana, Andzar Ibrahim, dan Daniel Erikson Sihombing.

        “Mengabulkan permohonan PKPU Sementara yang diajukan oleh para pemohon PKPU terhadap termohon PKPU PT Armidian Karyatama Tbk untu seluruhnya dengan segala akibat hukumnya,” tulis Tim Pengurus ARMY pada 30 Juli 2020 lalu.

        Baca Juga: Sri Mulyani Bicara Kabar Pahit, Banyak Perusahaan Terancam Pailit

        Perihal tenggat penyelesaian kewajiban, ARMY mendapat perpanjangan waktu dari PN Jakpus selaam 60 hari untuk menyusun proposal perdamaian yang akan ditawarkan kepada seluruh kreditur. Hal itu diputuskan dalam sidang yang dilaksanakan pada 4 September 2020 lalu.

        “ARMY diberi kesempatan perpanjangan waktu selama 60 hari untuk menyusun proposal perdamaian yang akan ditawarkan kepada seluruh kreditur. Saat ini ARMY sedang menyusun proposal perdamaian tersebut berdasarkan kondisi keuangan atau kemampuan pendapatan profit sharing dari kerja sama operasi pembangunan perumahan Citra Maja Raya di Kabupaten Lebak, Banten,” pungkas manajemen ARMY dalam keterbukaan informasi, 18 September 2020 lalu.

        Perlu diketahui, latar belakang permohonan PKPU tersebut adalah tidak terpenuhinya pembayaran imbal hasil atas pembelian medium term notes (MTN) senilai Rp3 miliar yang seharusnya dibayar pada 2 Desember 2019 lalu. Jauh sebelum diputus pailit, BEI telah lebih dulu menjatuhkan sanksi suspensi kepada ARMY karena penundaan pembayaran MTN tersebut.

        Dalam pengumuman resmi, BEI menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham ARMY terhitung mulai dari perdagangan sesi I, Senin (2/12/2019). Suspensi tersebut dilakukan seiring dengan pengumuman dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) bahwa ARMY telah menunda pembayaran imbal hasil MTN senilai Rp3 miliar. 

        "Terdapat penundaan pembayaran imbal hasil ke-1 MTN Syariah Mudharabah I Armidian Karyatama Tahun 2019 Seri A yang seharusnya dilakukan tanggal 2 Desember 2019," jelas Kepala Divisi Pengaturan dan Operasional Perdagangan BEI, Irvan Susandy, Jakarta, Senin (2/12/2019).

        Kabar tersebut pun diamini oleh pihak perusahaan, di mana manajemen ARMY mengaku terpaksa menunda pembayaran imbal hasil MTN tersebut karena alasan keuangan. Kendati begitu, manajemen ARMY berkomitmen untuk sesegera mungkin melakukan pembayaran imbalan tersebut. 

        "Penundaaan pembayaran imbalan ke-1 MTN Syariah Mudharabah Seri A sebesar Rp3.000.000.000 yang jatuh tempo pada tanggal 2 Desember 2019 karena alasan keuangan," jelas manajemen ARMY.

        Sekretaris ARMY, Yudi Darmawan, beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah mengusahakan untuk mendapat pemasukan lebih awal guna menyelesaikan kewajiban perusahaan yang tertunda. Bukan hanya itu, penjualan aset hingga pencarian investor pun dilakukan ARMY untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan.

        “ARMY dengan kondisi yang sangat terbatas tetap berupaya dan berkomitmen untuk tetap dapat menjalankan perusahaan dan berupaya segera dapat keluar dari permasalahan atau kendala yang sedang dihadapi,” pungkasnya secara tertulis dalam keterbukaan informasi pada 7 Agustus 2020 lalu.

        3. Kota Satu Properti

        Setali tiga uang, PT Kota Satu Properti Tbk (SATU) juga sempat masuk dalam pusaran PKPU. Emiten pemilik proyek perumahan The Amaya di Semarang, Jawa Tengah ini tercatat memiliki utang kepada delapan debitur senilai Rp88,84 miliar. 

        Debitur-debitur tersebut meliputi KSP Sedaya Karya Utama senilai Rp33,53 miliar, PT BPD Jawa Tengah Rp16,05 miliar, PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) Rp9,35 miliar, BPD Restu Artha Makmur Rp2,03 miliar, PT BPR Rudo Indobank Rp1,77 miliar, KSP Rejo Agung Sukses Rp1,88 miliar dan PT BPR Mandiri Artha Abadi Rp3,87 miliar, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dengan pinjaman senilai Rp20,54 miliar.

        Selain itu, SATU juga telah mendapatkan persetujuan perdamaian seluruh kreditur konkuren perseroan yang yakin empat orang. Nilai utang kepada seluruh kreditur konkuren mencapai Rp5,5 miliar.

        Direktur SATU, Hanna Priskilla, mengatakan bahwa pihaknya berhasil menandatangani kesepakatan perdamaian dengan 7 dari 8 kreditur yang ada. Dengan begitu, SATU diberi waktu selama 32 hari sejak putusan sidang ditetapkan, yakni pada 3 Juli 2020.

        “Untuk PT Kota Satu Persada, diberikan penundaan kewajibaan pembayaran utang tetap (PKPU Tetap) selama 32 hari terhitung sejak tanggal penetapan pada 3 Juli 2020,” katanya, dalam keterangan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) beberapa waktu lalu. 

        Ia menjelaskan, untuk membayar utang kepada kreditur, SATU menjual aset propertinya, termasuk juga memanfaatkan pendapatan anak usaha dari penjualan kamar, makanan, dan minuman di Allstay Hotel yang ada di Yogyakarta dan Semarang, Jawa Tengah.

        “Kami belum mendapatkan sumber pembiayaan baru baik perbankan maupun nonperbankan untuk meningkatkan likuiditas dan cash flow operasional,” tutupnya.

        Perkembangan lebih lanjut atas perkara tersebut adalah SATU diberi perpanjangan waktu PKPU selama 60 hari sampai dengan 2 Oktober 2020 mendatang. Hal itu diputuskan dalam sidang permusyawaratan majelis hakim niaga di Pengadilan Negeri Semarang pada 3 Agsutus 2020 lalu. 

        “Hasil sidang pada 3 Agustus 2020 memberikan perpanjangan waktu penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) selama 60 hari terhitung sejak tanggal penetapan diucapkan, yakni jatuh pada tanggal 2 Oktpber 2020,” jelas manajemen dalam keterbukaan informasi.

        Lebih lanjut, SATU mengaku, pihaknya masih dalam proses negosiasi dengan para kreditur mengenai rincian proposal perdamaian sehingga belum dapat merincikan poin-poin yang akan ditawarkan kepada kreditur. 

        “Pengaruh putusan perpanjangan masa PKPU selama 60 hari terhadap kelangsungan usaha SATU adalah positif,” tutupnya.

        4. PT Sentul City Tbk (BKSL)

        Emiten properti yang sempat tersandung perkara pailit ialah PT Sentul City Tbk (BKSL). Kabar kepailitan Sentul City bermula ketika keluarga Bintoro mengajukan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Jumat, 7 Agustus 2020 lalu. Dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus, gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 35/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Jkt.Pst. 

        "Menyatakan Termohon PT Sentul City Tbk, yang beralamat di Gedung Menara Sudirman, Lantai 25, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 60, Jakarta Selatan, 12190 dalam keadaan Pailit dengan segala akibat hukumnya," bunyi petitum sebagaimana dilansir dari SIPP PN Jakpus.

        Berkenaan dengan itu, Corporate Secretary Department Sentul City, Alfian Mujani, membenarkan kabar gugatan tersebut dan menjelaskan bahwa Andi Ang Bintoro beserta penggugat lainnya merupakan konsumen dari Sentul City. Alfian mengatakan, apa yang saat ini diperkarakan oleh keluarga Bintoro tidak lain adalah Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) Kavling siap bangun senilai Rp30 miliar. 

        "Perkara yang dipermasalahkan oleh Andi Ang Bintoro adalah adanya Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) Kavling siap bangun," tegas Alfian dalam keterangan tertulis yang diterima WE Online, Jakarta, Selasa 11 Agustus 2020. 

        Manajemen Sentul City menegaskan kembali bahwa pihaknya tak memiliki utang kepada keluarga Bintoro dan Linda Karnadi (Ang Bintoro Cs). Adapun dana puluhan miliar yang diperkarakan merupakan dana pembelian kavling matang di Jalan Adora Drive Nomor 15, Cluster Habiture Sentul City, Bogor.

        "Sesuai PPJB, uang yang sudah diserahkan pembeli kepada BKSL adalah Rp29.319.000.000 dengan adanya ketentuan mengenai kewajiban pembeli untuk membangun kavling matang tersebut. BKSL tidak memiliki utang kepada pembeli-pemohon pailit (Bintoro Cs) karena uang tersebut untuk membeli kavling matang," tegas Presiden Direktur BKSL, Tjetje Muljanto, Jakarta, Rabu, 12 Agustus 2020.

        Ia melanjutkan, jauh sebelum kasus ini mencuat ke publik, BKSL telah mengirimkan undangan serah terima kepada para pembeli masing-masing pada 18 Maret 2014 dan 20 Agustus 2014. Namun, undangan tersebut tidak dipenuhi oleh Bintoro CS. 

        Selain itu, BKSL juga mengaku telah memberikan beberapa opsi lain perihal transaksi jual-beli kavling ini. Salah satu opsi yang ditawarkan adalah relokasi ke unit lain. 

        "Sebelum permohonan pailit, BKSL telah mengirimkan surat undangan serah terima  tanah kavling matang, tetapi pembeli menolak secara lisan. Selain daripada itu, BKSL juga menawarkan relokasi ke unit lain yang harganya sepadan dengan harga jual beli kavling matang tersebut," lanjutnya lagi.

        Perihal perkara hukum yang masih bergulir, pihak BKSL mengaku akan mengikuti setiap prosedur yang ada. 

        "BKSL mengikuti prosedur perkara melalui Pengadilan Niaga sesuai UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang," tutupnya.

        Walau kasus tersebut sempat memanas hingga terjadi aksi saling lapor, pada akhirnya gugatan pailit berakhir dengan damai. Tepat pada 18 Agustus 2020 lalu, keluarga Bintoro resmi mencabut gugatan pailit terhadap Sentul City. 

        “Bahwa dengan ini kami menyatakan mencabut permohonan kepailitan dengan register perkara Nomor 35/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Jkt.Pst,” bunyi putusan pengadilan sebagaimana dikutip dari keterbukaan informasi, Senin, 21 September 2020.

        Selesai satu masalah, Sentul City kembali dihadapkan oleh perkara hukum. Kali ini, Sentul City digugat PKPU oleh salah satu konsumennya bernama Hendra pada 14 Agustus 2020. Permohonan PKPU itu terdaftar dengan nomor perkara 253/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Jkt.Pst. Seperti kasusnya dengan keluarga Bintoro, Sentul City juga menegaskan tak memiliki utang kepada Hendra.

        Dalam penjelasannya, Sentul City mengatakan bahwa pada 1998 lalu Hendra membeli tanah dan bangunan dari Sentul City di Jalan Taman Besakih II Nomor 6. Namun, sampai dengan saat ini antara Sentul City dan Hendra belum terjadi penandatanganan akta jual beli atas aset senilai Rp58,2 juta tersebut.

        “Maksud bahwa pemohon PKPU tidak memenuhi undangan AJB (penandatanganan akta jual beli) adalah karena menghindari kewajiban atau berkebaratan membayar BPHTB dan pajak lainnya,” tegas manajemen Sentul City. 

        Kasus permohonan PKPU ini pun tak berjalan lama. Sebab, melalui kuasa hukumnya, Hendra menyatakan telah mencabut gugatan PKPU tersebut pada 7 September 2020. Tak merincikan, kuasa hukum Hendra hanya menyatakan bahwa pencabutan gugatan PKPU itu dilakukan karena sudah tercapai kesepakatan damai oleh kedua pihak.

        “Dengan ini menyampaikan permohonan pencabutan permohonana PKPU terhadap Sentul City/termohon PKPU karena telah tercapai kesepakatan perdamaian antara Hendra/Pemohon PKPU dengan Sentul City/Termohon PKPU,” jelas Kuasa Hukum Hendra, Tri Gendri Ririasih pada 7 September 2020.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: