Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pertumbuhan Ekonomi Tidak Lepas dari Kesinambungan Vaksinasi Covid-19

        Pertumbuhan Ekonomi Tidak Lepas dari Kesinambungan Vaksinasi Covid-19 Kredit Foto: Antara/Irsan Mulyadi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Ph.D Candidate dari Australian National University, Andree Surianta, mengatakan bahwa program vaksinasi Covid-19 berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu yang harus diperhatikan dari program vaksinasi adalah kesinambungan atau keberlanjutannya.

        Memudarnya kekebalan perlu diperhitungkan dalam merencanakan kecepatan, jangkauan, dan frekuensi vaksinasi. Menghadapi pandemi yang penyebarannya sangat cepat, vaksinasi berlomba dengan waktu karena kekebalan populasi harus tercapai sebelum antibodi penerima vaksin tahap awal habis. Tekanan ini menjadi berlipat ganda di negara beribu pulau dengan infrastruktur logistik yang kurang memadai seperti Indonesia.

        Baca Juga: Kemenristek: Kesiapan Bibit Vaksin Merah Putih dari Eijkman Masih Sesuai Target

        Ia melanjutkan, salah satu ukuran keberhasilan vaksin adalah kuat-lemahnya reaksi antibodi yang dihasilkan. Dari sisi kesehatan publik, jika sebagian besar masyarakat memiliki antibodi yang kuat, tercapailah herd immunity (kekebalan populasi) yang akan menghentikan laju pandemi. Dari sudut pandang ekonomi, pemilik antibodi, yaitu penyintas dan penerima vaksin, diasumsikan aman untuk segera kembali beraktivitas dan menggerakkan kembali roda perekonomian.

        Covid-19 diharapkan memicu produksi antibodi di tubuh penerima yang memberikan kekebalan terhadap virus SARS-CoV-2. Meskipun menghasilkan kekebalan, tidak ada vaksin yang menghilangkan risiko penularan 100% dan vaksin bukanlah pengganti keharusan menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M).

        Kebanyakan vaksin Covid-19 membutuhkan dua dosis untuk mencapai perlindungan optimal. Dua vaksin dengan efikasi tertinggi saat ini, Pfizer-BioNTech dan Moderna, bisa mencapai perlindungan di atas 90% dengan dua dosis. Namun, dosis pertama hanya memberikan perlindungan 52% dan 51% dalam waktu dua minggu setelah disuntik. Demikian pula dengan vaksin Oxford-Astra Zeneca yang efikasi satu dosisnya 64%. Sayangnya, untuk vaksin Sinovac belum ada data efikasi dari satu dosis.  Jadi, suntikan pertama vaksin hanya menghasilkan sedikit antibodi.

        Bukan hanya sedikit jumlahnya, antibodi ini juga perlu waktu untuk terbentuk. Reaksi antibodi terhadap vaksin Pfizer-BioNTech baru terdeteksi 12 hari setelah disuntik. Dalam "masa kosong" ini, risiko tertular penerima vaksin sama saja dengan orang yang belum divaksin. Kesimpulannya, terang Andree, seseorang yang disuntik vaksin, apalagi jika baru dosis pertama, tetap rentan tertular Covid-19.

        Jika protokol 3M langsung ditinggalkan begitu vaksinasi massal dimulai, lanjutnya, angka penularan malah bisa melonjak. Penambahan kasus positif akan membebani sistem kesehatan dan menghambat pemulihan ekonomi. Vaksin seharusnya menjadi pelengkap protokol 3M dan komunikasi seputar Covid-19 juga harus mencerminkan hal ini: bukannya terfokus kepada vaksin saja, tetapi menempatkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari protokol kesehatan yang sudah ada.

        Sejak bulan April 2020 muncul perdebatan mengenai pemberian paspor kekebalan atau sertifikat bebas risiko kepada pemilik antibodi (penyintas) Covid-19 yang menandakan mereka kebal dan aman bekerja atau bepergian. Dengan adanya vaksin, perdebatan ini kembali menghangat setelah Yunani, yang ekonominya sangat bergantung kepada pariwisata, mengusulkan paspor vaksin untuk memudahkan perjalanan antarnegara Uni Eropa.

        Indonesia juga mempertimbangkan ide serupa melalui usulan pemberian sertifikat kesehatan digital bagi penerima vaksin. Akan tetapi, sejauh ini belum ada data mengenai berapa lama antibodi SARS-CoV-2 bertahan. Jika mengacu kepada jenis Coronavirus lainnya, antibodi SARS-CoV bertahan antara 1 dan 2 tahun, sedangkan antibodi penyakit saluran pernapasan musiman lainnya bertahan kurang dari 12 bulan.

        Satu hal yang pasti adalah kekebalan diprediksi tidak bertahan selamanya. Karena itulah, WHO tidak mendukung rencana pemberian paspor vaksin untuk perjalanan internasional. Rencana penerbitan sertifikat kesehatan digital di Indonesia pun, saran Andree, sebaiknya ditunda sebelum ada kepastian masa berlakunya yang akan ditentukan oleh seberapa awetnya antibodi SARS-CoV-2.

        Pemantauan antibodi bukan hanya penting untuk syarat mobilitas, melainkan juga untuk melacak perkembangan kekebalan populasi. Program vaksinasi seharusnya dilanjutkan dengan pemantauan antibodi secara berkala. Selama ketahanan antibodi belum diketahui, langkah ini menjadi alat deteksi awal penurunan kekebalan populasi.

        Untuk memudahkan pelacakan, hasil tes antibodi berkala ini sebaiknya diintegrasikan dalam sistem informasi satu data vaksinasi Covid-19. Pudarnya kekebalan populasi sebelum vaksinasi massal selesai bisa menyebabkan gelombang pandemi baru yang akan kembali memukul ekonomi.  Mempertimbangkan kemungkinan ini, pemerintah perlu menyiapkan strategi vaksinasi ulang untuk mempertahankan kekebalan populasi.

        "Vaksinasi massal adalah sebuah komponen penting dalam perjuangan melawan Covid-19. Akan tetapi, perjuangan belum selesai saat vaksin disuntikkan. Pulihnya ekonomi bukan terletak di ujung jarum suntik saja, tetapi dalam kesadaran masyarakat akan pentingnya protokol kesehatan dan kesiapan pemerintah merespons dinamika kekebalan populasi yang terbentuk," tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: