Nahloh! Skandal Dana Umat ACT Kesalahan Pemerintah Juga, Pengamat Beberkan Analisisnya, Blak-blakan!
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Hempri Suyatna ikut menyoroti skandal penyelewengan dana umat yang menyeret lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh ACT merupakan bentuk kapitalisasi kemiskinan atau menjual kemiskinan untuk mendapatkan iba.
Baca Juga: Lihat Skandal ACT, Muhammadiyah Gak Mau Dana Umat Diselewengkan Lagi, Pemerintah Harus Lakukan Ini!
Para pelaku dalam organisasi tersebut menyuarakan untuk berjuang dengan kaum miskin, namun ternyata dananya malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan organisasi.
"Justru dimodifikasi dan menjadi komoditas untuk mendapatkan keuntungan," terangnya, Jumat (8/7/2022).
"Masyarakat mudah berderma, berzakat. Hemat saya, harus lebih hati-hati. Kemudian, lihat rekam jejak kelembagaan yang ada," saran Hempri.
Baca Juga: Mau Salat Idul Adha di JIS? Umat Harus Simak Dahulu Himbauan Anies Baswedan: Mari Gaungkan Takbir!
Dengan teliti dalam menderma, sumbangan yang disalurkan ke masyarakat lewat lembaga tersebut tepat sasaran dan pemerintah harus memberikan kontrol pengawasan lebih kuat ketat pada lembaga sosial. Dengan demikian, kapitalisasi kemiskinan bisa diminimalisasi.
Selain melihat rekam jejak lembaga penyalurnya, masyarakat juga bisa mempercayakan donasi mereka kepada organisasi yang lebih besar seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan organisasi lain yang ada di tingkat masyarakat. Kalau dari level kecil, misalnya melalui takmir masjid.
"Mungkin dari lingkungan diri sendiri dahulu, dorong perkuat masjid dan gereja. Dana umat untuk sedekah mengurangi kemiskinan sepertinya lebih efektif, daripada [yang sasaran sedekahnya] jauh-jauh," terangnya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Pesantren Harus Segera Diproses, Kasus Mas Bechi Tak Bisa Ditoleransi!
Menurut Hempri, kesalahan pemerintah dalam semua ini adalah kurangnya kontrol terhadap lembaga pengelolaan dana umat. Bahkan bisa dibilang nyaris tidak ada. Yayasan atau lembaga harus diaudit, diberi pembinaan dan dicermati. Kalaupun layanan derma dilakukan lewat sebuah platform, ada kontrol menyangkut kredibilitasnya.
"Praktik di tingkat bawah, banyak bentuk modifikasi kapitalisme kemiskinan. Saya seringkali dapat pesan WhatsApp atas nama lembaga zakat tertentu, disalurkan ke anak yatim. Kadang enggak jelas," ungkapnya.
Ditanyai soal pengelola lembaga yang mengambil 13,5% dari dana yang disetorkan untuk koordinasi internal dan administrasi, menurut Hempri, jumlah itu muncul karena selama ini tidak ada ukuran standardidasinya.
Baca Juga: Jadwal Pemakaman Eks PM Jepang Sudah Diputuskan, Penembak Shinzo Abe Ngakunya Punya Dendam!
"Pemerintah buat standardisasi terlebih dahulu, terkait yayasan maksimalnya ambil berapa dari dana umat untuk administrasi?," lanjut dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: