Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Indonesia Perlu Mengambil Pelajaran dari Situasi Sri Lanka

        Indonesia Perlu Mengambil Pelajaran dari Situasi Sri Lanka Kredit Foto: Reuters/Dinuka Liyanawatte
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia perlu mengambil pelajaran dari situasi yang sedang terjadi di Sri Lanka. Negara beribu kota Colombo tersebut tengah mengalami krisis politik dan ekonomi yang berimbas pada kebangkrutan.

        "Indonesia perlu melakukan mitigasi pada faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya inflasi. Selain itu, Indonesia juga perlu merespons konflik geopolitik global dengan kebijakan yang tepat dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas," jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran, dikutip dari siaran pers yang diterima, Jumat (15/7/2022).

        Baca Juga: Gotabaya Rajapaksa Kabur, Gubernur Bank Sentral Sri Lanka Gak Lihat Ada Masa Depan buat Negara

        Hasran menjelaskan, sebagaimana negara lain, Sri Lanka juga tidak lepas dari dampak kondisi global. Namun, selain itu, kondisi Sri Lanka juga dipicu oleh adanya salah urus atau mismanagement dan korupsi. Ia melanjutkan, kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan utang luar negeri yang tidak mempertimbangkan kemampuan bayar, tax cut (pemotongan pajak), hingga pelarangan impor pupuk kimia.

        Perekonomian Indonesia masih relatif jauh lebih aman dan terkendali kalau dibandingkan dengan Sri Lanka. Hal ini dapat terus dipertahankan kalau ekonomi dikelola dengan baik dan fokus pada mitigasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi.

        Indonesia dan Sri Lanka memiliki kondisi makroekonomi yang tidak sama. Rasio utang terhadap GDP (Debt to GDP ratio) Sri Lanka berada di atas 107% dengan tingkat inflasi sekitar 54,6% pada Juni lalu. Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia pada akhir bulan Mei 2022 hanya 38,88%, jauh di bawah ambang batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara, yakni 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

        Selain itu, mayoritas utang Indonesia berupa surat berharga negara yang berdenominasi rupiah (lebih dari 70%). Berbeda dengan Sri Lanka yang terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dan mayoritas ialah utang luar negeri.

        Inflasi Indonesia pada bulan Juni, walaupun terbilang tinggi kalau dibandingkan di tahun-tahun sebelumnya, juga masih dalam kategori aman, yaitu sekitar 4,35%. "Walaupun inflasi Indonesia masih berada dalam kisaran 4%, angka ini dapat terus meningkat jika suatu waktu pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi demi menjaga APBN agar tetap sehat," lanjutnya.

        Kenaikan harga pangan dan energi di tingkat global mulai berdampak ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari inflasi atau kenaikan harga umum per Juni 2022 mencapai 4,35%. Banyak faktor yang memengaruhi tingginya inflasi di Indonesia, misalnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan terganggunya lalu lintas perdagangan pangan dan kondisi makro ekonomi global.

        Hasran menambahkan, pemerintah perlu fokus untuk menjaga keterjangkauan masyarakat terhadap pangan, salah satunya dengan memastikan ketersediaannya yang cukup di pasar sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Di saat yang bersamaan, penguatan kapasitas petani dan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional juga perlu diteruskan.

        Ia menyebut, Indonesia perlu mewaspadai konflik-konflik geopolitik, terutama yang berpotensi menyebabkan ketidakpastian ekonomi global. Terkait pangan, sangat penting bagi Indonesia dalam melakukan diversifikasi pangan melalui dua hal.

        Baca Juga: Ekonomi Indonesia Masih Lebih Baik Di Tengah Ancaman Resesi Global

        Pertama, menemukan sumber impor baru agar tidak ada ketergantungan pada satu satu negara tertentu. Kedua, memperkuat sektor pertanian Indonesia melalui upaya modernisasi yang berkelanjutan.

        Indonesia juga perlu tetap aktif dalam perdagangan internasional, fokus pada ekspor produk yang bernilai tinggi, dan terbuka terhadap impor untuk menambah daya saing produknya. Tindakan proteksionis sudah terbukti tidak sejalan dengan tujuan pemulihan ekonomi nasional.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: