Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        LPEM UI Sarankan Kebijakan DMO dan DPO Dihapus untuk Mengatur Volume Ekspor CPO

        LPEM UI Sarankan Kebijakan DMO dan DPO Dihapus untuk Mengatur Volume Ekspor CPO Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah diminta melakukan penyesuaian terhadap kebijakan perdagangan yang mengganggu volume ekspor sawit Indonesia. Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM) FEB Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng perlu dilakukan oleh pemerintah secara lebih berhati-hati agar tidak mengganggu mekanisme pasar industri sawit di dalam negeri.

        Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Dr. Eugenia Mardanugraha S,Si, M.E, mengatakan kebijakan pemerintah sebaiknya dapat meminimalkan distorsi terhadap pasar. Kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan ekspor berakibat tangki pabrik kelapa sawit (PKS) mengalami kelebihan kapasitas. 

        Baca Juga: Kenaikan Harga CPO, Kerek Laba Bersih ANJ Nilainya Capai...

        "Situasi ini membuat harga TBS jatuh, dan membawa penderitaan kepada petani sawit, khususnya petani sawit swadaya. Pembatasan ekspor CPO, meskipun sementara dalam waktu singkat mendistorsi kegiatan perdagangan kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Dampak negatif terbesar dirasakan oleh petani sawit swadaya karena harga TBS tidak kunjung menyesuaikan dengan harga internasional," ujar Eugenia Mardanugraha.

        Hasil kajian LPEM UI ini disampaikan dalam Diskusi Virtual "Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya" yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia, Senin (1/8/2022). Hadir dalam diskusi ini antara lain Joko Supriyono (Ketua Umum GAPKI), Sahat Sinaga (Direktur Eksekutif GIMNI), dan Dr. Gulat ME Manurung (Ketua Umum DPP APKASINDO).

        Dijelaskan Eugenia Mardanugraha bahwa hambatan ekspor sawit harus dikurangi atau bahkan dihapuskan lantaran regulasi dan perpajakan ekspor sawit saat ini terlalu banyak antara lain Bea Keluar, Pungutan Ekspor, Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), Persetujuan Ekspor, dan Flush Out.

        Baca Juga: Kabar Baik! Harga Tandan Buah Segar Petani Sawit Naik Jadi Rp2.134,08 per Kilogram

        "Seluruh hambatan ekspor sebaiknya dikurangi bahkan dihapuskan. Pungutan Ekspor tidak diberlakukan dan Bea Keluar perlu disederhanakan untuk memperlancar ekspor sampai harga TBS mencapai tingkat yang sesuai harapan petani swadaya," jelas Eugenia.

        Eugenia menyebutkan bahwa upaya meningkatkan harga TBS sawit petani membutuhkan dukungan peningkatan ekspor crude palm oil (CPO) dalam jumlah yang besar. Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO 1 persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.

        "Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari Rp861 per kg (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi Rp2.250 per kg," urai Eugenia.

        Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.

        Baca Juga: Harga CPO KPBN di Awal Agustus 2022 Tercatat Naik

        "Kalau kita memulai dari harga awal TBS Rp1.380 per kg maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani," ujarnya.

        Akan tetapi, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi. Menurutnya, semakin tinggi harga CPO, semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO. Kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Sayangnya, pemerintah menetapkan biaya yang bertingkat sesuai dengan kenaikan harga.

        Baca Juga: Wapres RI: Pemerintah Siapkan Langkah Perbaikan Tingkatkan Kesejahteraan Petani Sawit

        LPEM UI sepakat untuk penghapusan kebijakan seperti DMO serta DPO. Solusinya, pemerintah menjadikan Pungutan Ekspor dan Bea Keluar dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.

        "Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya, apabila ekspor ingin diperbesar maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor," ujar Eugenia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: