Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        69 Juta Konsumen Perjuangkan Hak Partisipatif dan Advokasi dalam Regulasi Pertembakauan

        69 Juta Konsumen Perjuangkan Hak Partisipatif dan Advokasi dalam Regulasi Pertembakauan Kredit Foto: Pakta Konsumen
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sebanyak 69,1 juta perokok dan konsumen produk tembakau belum mendapatkan hak partisipatif dan hak advokasinya. Menurut Pakta Konsumen, perokok dan konsumen produk tembakau selama ini hanya dijadikan objek dalam implementasi regulasi pertembakauan, termasuk dalam penentuan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT).

        Ketua Bidang Advokasi dan Pendidikan Konsumen, Pakta Konsumen, Ary Fatane, mengatakan para konsumen produk tembakau selama ini diabaikan. Dalam hal ini, perokok dan konsumen produk tembakau belum dipandang sebagai subjek oleh pemerintah namun hanya sekadar objek.

        Baca Juga: Pemerintah Wajib Akomodir Perlindungan Konsumen Ekosistem Pertembakauan

        "Mulai dari proses penentuan kebijakan hingga implementasi regulasi. Konsumen adalah wajib pajak yang punya hak partisipatif dan advokasi konsumen yang berkontribusi terhadap cukai rokok tidak diakomodir. Melihat realita saat ini, yang kecanduan pada rokok itu pemerintah. Pemerintah candu atas cukai rokok yang terus dinaikkan sebagai salah satu instrumen penerimaan negara," ujarnya saat Diskusi Media bertajuk Konsumen Mengawal Implementasi Regulasi Pertembakauan: Advokasi Hak Partisipatif dan Perlindungan Perokok, Rabu (21/9/2022).

        Ary menyayangkan sikap pemerintah yang seharusnya bisa memaksimalkan peran litigasi dan nonlitigasinya dalam melindungi dan mengakomodasi hak-hak perokok dan konsumen produk tembakau.

        "Apa yang ril yang telah dinikmati konsumen produk tembakau? Mulai dari hak kenyamanan, hak tidak diperlakukan diskriminatif, masih dirasakan. Perokok dan konsumen produk tembakau belum dipandang sebagai warga negara seutuhnya oleh pemerintah. Hal ini tidak terlepas karena hak-hak partisipatif dan advokasinya belum diakomodir secara maksimal. Sehingga konsumen produk tembakau sering distigma sebagai beban negara atau warga negara kelas dua," kata Ary.

        Baca Juga: Petani dan Pekerja SKT Rawan Terdampak, Pemerintah Diminta Tinjau Rencana Kenaikan Cukai Tembakau 2023

        Sebagai lembaga swadaya, Pakta Konsumen berupaya mengadvokasi para perokok dan konsumen di ekosistem pertembakauan untuk berperan aktif menyuarakan hak-hak mereka. Sebagai wajib pajak yang telah taat membayarkan cukai, selama ini perokok dan konsumen produk tembakau justru lebih sering menerima ketidakadilan dari implementasi regulasi di antaranya: Perda Kawasan Tanpa Rokok, rencana kenaikan harga rokok seiring dengan rencana kenaikan cukai rokok 2023, hingga dorongan Revisi PP 109/2012.

        "Bahkan ada sekitar 300 regulasi pertembakauan yang bersifat eksesif dan seluruhnya sangat jauh dari pelibatan atau partisipasi konsumen. Poin-poin aturan dalam kebijakan maupun regulasi yang ada, sangat ketat, melarang hingga bersifat menekan para perokok dan konsumen produk olahan tembakau. Konsumen di ekosistem pertembakauan ini ibarat fenomena gunung es. Mereka sudah tertekan sekian lama, berupaya terus bersuara tapi belum diakomodir," papar Ary.

        Sementara itu, Staf Bidang Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI), Lily, menuturkan negara berkewajiban mengakomodasi hak konsumen termasuk hak untuk didengar pendapatnya, yang merupakan hak dasar dan vital. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BPKN RI merekomendasikan agar pemerintah melibatkan aspirasi konsumen.

        "Tak dapat dipungkiri, kebijakan cukai tumbuh di antara kondisi yang terhimpit dinamika tarik ulur antara kepentingan fiskal dan isu kesehatan masyarakat. Meski demikian, dalam prosesnya, pemerintah harus bijak dan berimbang dalam mendengarkan aspirasi konsumen karena akan berdampak pada banyak sektor. Namun, baru kali ini kami mengetahui bahwa konsumen ekosistem pertembakauan cukup besar dan kompleks," sebut Lily.

        Baca Juga: Aneh, Jelang Panen Tembakau Kok Ada Kenaikan CHT, Ada Apa?

        Unsur Legalitas dan Legitimasi

        Regulasi eksesif yang berkaitan dengan ekosistem pertembakauan terjadi karena tidak sedikit peraturan maupun kebijakan yang dalam proses pembuatannya multitafsir dan tidak bersifat situasional.

        Pengamat hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, menyatakan minimnya pemenuhan hak partisipatif konsumen dalam regulasi pertembakauan tidak terlepas dari aspek nir-legalitas peraturan yang ada.

        "Sebagai contoh, PP 109/2012 adalah regulasi yang sangat eksesif bagi konsumen karena ada simplifikasi dari peraturan di atasnya yakni Undang-Undang Kesehatan yang sebenarnya memberi ruang pengaturan yang lebih luas dalam ekosistem pertembakauan sehingga akhirnya nir-legalitas," kata Ali Rido.

        Baca Juga: Rencana Kenaikan Cukai Rokok Jangan Korbankan Petani Tembakau

        Regulasi terkait ekosistem pertembakauan, lanjut dia, belum seluruhnya berimbang memenuhi unsur legalitas dan legitimasi.

        "Hal ini tidak terlepas dari rendahnya derajat partisipasi konsumen dalam pembentukan regulasi. Jalan keluar terhadap urgensi partisipasi konsumen, pemerintah harus melaksanakan amanat konstitusi dan perundang-undangan. Dengarkan, libatkan dan akomodir suara konsumen dalam proses pembentukan hingga implementasi regulasi," tegasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ayu Rachmaningtyas Tuti Dewanto
        Editor: Ayu Almas

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: