Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ekonom Minta Kebijakan DMO Sawit Perlu Dikaji Ulang, Kalau Tidak Ini Dampaknya!

        Ekonom Minta Kebijakan DMO Sawit Perlu Dikaji Ulang, Kalau Tidak Ini Dampaknya! Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah diminta mengkaji ulang kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sawit yang masih berlaku hingga saat ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak efektif dalam mendorong peningkatan ekspor dan menekan harga sawit dalam negeri termasuk tandan buah segar (TBS) sawit.

        Melansir laman Majalah Sawit Indonesia pada Rabu (5/10/2022), Ekonom Universitas Airlangga Rossanto Dwi Handoyo, Ph.d mengatakan kebijakan DMO sawit memberikan sejumlah dampak terhadap pelaku industri dan petani.

        Baca Juga: Kebijakan DMO dan DPO Berisiko dan Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

        Pertama, adanya kelebihan pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik.

        Kedua, adanya ketidaksepakatan penetapan harga TBS sawit antara petani dan pabrik-pabrik sawit. Ketiga, petani dirugikan akibat adanya penurunan harga TBS secara sepihak yang menyebabkan kerugian petani diperkirakan Rp14 triliun.

        Baca Juga: Ombudsman RI: Pemerintah Perlu Lakukan Reformulasi Kebijakan DMO Sawit

        Di pasar ekspor, negara produsen sawit seperti Malaysia mendapatkan windfall profit dari DMO sawit Indonesia.

        "Akibat aturan ekspor, permintaan CPO beralih ke negara kompetitor. Kompetitor Indonesia dalam pasar CPO dunia adalah Malaysia, yang menduduki posisi pengekspor CPO terbesar kedua dunia dengan kontribusi ±26 persen dari nilai ekspor CPO dunia pada tahun 2020," ujar Rossanto, dilansir dari laman Majalah Sawit Indonesia. 

        Lebih lanjut, Rossanto mengusulkan agar kebijakan DMO sawit dapat dievaluasi lagi sesuai regulasi berlaku. Merujuk Pasal 5 Permendag No. 22/2022 bahwa kebijakan ekspor CPO dapat dievaluasi secara periodik atau sewaktu-waktu diperlukan. Apalagi, kebijakan ekspor sawit seperti DMO ini tidak lagi efektif dalam mendorong peningkatan ekspor CPO dan harga TBS sawit.

        Rossanto meminta pemerintah perlu mewujudkan penyusunan platform Neraca Komoditas (NK). Pasalnya, mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi produk komoditas unggulan seperti batu bara dan CPO. NK bisa menjadi acuan data dan informasi yang mampu menjabarkan tentang situasi konsumsi dan produksi suatu komoditas berskala nasional seperti CPO dan batu bara sekaligus sebagai data dan informasi proyeksi pengembangan industri nasional.

        Baca Juga: Menteri ESDM: Banyak Perusahaan Batu Bara Lebih Pilih Bayar Sanksi Dibanding Penuhi DMO

        Menurut Rossanto, melalui NK tersebut nantinya dengan mudah diketahui seberapa besar kebutuhan CPO dalam negeri untuk minyak goreng hingga target ekspor sehingga berbagai regulasi pro dan kontra seperti DMO dan DPO bisa dihindari.

        "Kebijakan sebagai upaya transparansi ini bermanfaat karena memberikan kepastian waktu bagi eksportir sawit, mendorong penyederhanaan tata niaga kelapa sawit di Indonesia yang kini masih terkesan tumpang tindih," kata Rossanto.

        Baca Juga: Harga Tandan Buah Segar Petani Sawit Turun Menjadi Rp2.376,59 per Kilogram

        Menurut Rossanto, penyusunan NK perlu dikebut mengingat perekonomian Indonesia masih menghadapi dampak tekanan ekonomi global tahun depan 2023. Pada 2023, ekonomi domestik dihadapkan dengan sejumlah ketidakpastian seperti potensi resesi dunia setelah tingginya inflasi dan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Ayu Almas

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: