Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ngaku Gak Takut, Saat Kiamat Tiba Para Miliarder Samakan Dirinya Bak Dewa

        Ngaku Gak Takut, Saat Kiamat Tiba Para Miliarder Samakan Dirinya Bak Dewa Kredit Foto: Unsplash/Ashim D’Silva
        Warta Ekonomi, Washington -

        Saat Douglas Rushkoff diundang untuk berbicara dengan sekelompok miliarder teknologi di sebuah resor pribadi di gurun pasir, dia merasa sudah mempersiapkan dirinya dengan maksimal. Ternyata dia salah.

        Douglas, seorang penulis, ahli teori dan profesor di City University of New York, diminta untuk membahas "masa depan teknologi."

        Baca Juga: Mau Bangun Rumah 'Anti Kiamat', Miliarder Peter Thiel Diserang Organisasi Pencinta Lingkungan

        Douglas mendapat bayaran yang banyak, sekitar sepertiga dari gaji profesornya selama setahun, selain juga ditanggung penerbangannya dan naik 'limousine' selama tiga jam ke lokasi yang dirahasiakan.

        "[Ketika saya tiba], bukannya membawa saya ke atas panggung, mereka membawa lima orang ini ke ruangan tempat saya bersiap-siap. Dan mereka berkata, 'ini tempatnya'," katanya kepada program Drawing Room milik ABC Radio National.

        Kelima orang itu adalah "investor teknologi papan atas dunia, pejabat lembaga keuangan" dan setidaknya dua dari mereka adalah miliarder.

        Awalnya, Douglas ditanya hal-hal yang dianggapnya biasa.

        "Mereka menanyakan semua pertanyaan umum yang diajukan investor teknologi, seperti, 'apa yang lebih baik, Bitcoin atau Ethereum? Virtual reality atau augmented reality?'" katanya.

        Tapi lama-lama arah pembicaraan berupa, ia jadi tahu mengapa diundang ke gurun.

        "Bagaimana saya mempertahankan otoritas saya atas pasukan keamanan yang saya miliki setelah 'peristiwa' itu?" salah satu pria bertanya.

        Selandia Baru atau Alaska?

        Douglas mengatakan 'peristiwa itu' yang dimaksud adalah sebutan untuk akhir zaman, yang bisa berupa "kehancuran lingkungan, kerusuhan sosial, ledakan nuklir, badai matahari, virus yang tak bisa dihentikan, atau peretasan komputer berbahaya yang akan menghancurkan segalanya."

        Kelima orang ini adalah orang kaya-raya yang yakin peradaban manusia dapat runtuh kapan saja.

        Mereka sangat ingin mendengar pendapat Douglas bagaimana caranya bisa menghindar dari itu.

        Seseorang bahkan bertanya, tempat mana yang paling aman saat hari terakhir itu terjadi: Selandia Baru atau Alaska?

        Yang lain sudah menyiapkan bunker dan penjaga keamanan.

        Ada banyak pertanyaan soal penjaga ini, seperti 'Bagaimana membayar mereka saat crypto tidak berharga lagi? Apa yang akan menghentikan mereka mendengar perintah? Mungkin penjaga robot akan lebih baik?'

        "Hampir seluruh pembicaraan membicarakan skenario Walking Dead," katanya, yang mengacu serial kiamat zombie yang diangkat ke layar kaca.

        Tapi Douglas merasa tidak bisa membantu menjawabnya.

        Ya, dia memang seorang ahli bidang "manusia otomatis di era digital", tetapi dia lebih menganggap dirinya sendiri sebagai "ahli teori media Marxis" daripada seorang futuris.

        Saat pertemuan terjadi, profesor ini akhirnya punya kesimpulan soal "orang-orang terkaya dan paling berkuasa yang pernah bersamanya" itu.

        "Saya mulai melihat mereka sebagai orang yang menyedihkan," katanya.

        Tidak sendiri

        Pertemuan di gurun yang aneh tersebut membuat Douglas bertanya mengapa beberapa orang yang punya hak-hak istimewa di dunia, malah memikirkan tentang kehancuran dunia.

        Dia menulis pengalamannya di situs Medium, kemudian menulis buku dengan judul 'Survival of the Richest: Escape Fantasies of the Tech Billionaires'.

        Baca Juga: Gak Ingin Eropa 'Kiamat' Saat Musim Dingin, Swedia Kirim Kapal Selam ke Laut Baltik

        Ternyata bukan hanya lima orang paling kaya itu yang merencanakan untuk kabur dari kiamat.

        Salah satu pendiri PayPal, pendukung Donald Trump, dan libertarian Peter Thiel, adalah salah satu dari beberapa miliarder yang sudah punya warga negara Selandia Baru dan membeli sebidang tanah di kawasan terpencil di negara itu.

        Pada bulan Agustus, rencana Peter terhalang ketika Dewan Wilayah Queenstown Selandia Baru menolak rencananya untuk membangun penginapan mewah yang berbentuk seperti bunker.

        Ada pula mereka yang dikenal sebagai 'seasteaders', yang yakin struktur bangunan yang jauh dari perairan internasional adalah 'jalan keluar' terbaik dari masyarakat.

        Seperti yang ditulis Douglas dalam buku barunya, "In the Minecraft-meets-Waterworld future envisioned by 'aquapreneurs', orang kaya harus hidup di negara-kota yang mandiri dan mengambang bebas."

        The Seasteading Institute, yang didirikan oleh Patri Friedman, cucu dari ekonom pasar bebas Milton Friedman, bertujuan untuk "membangun komunitas startup yang mengapung di lautan, dengan apa pun ukuran otonomi politiknya."

        Satu perusahaan bernama Vivos memanfaatkan kekhawatiran soal kiamat dengan menjual apartemen mewah di bawah tanah, yang dulunya sebuah fasilitas di era Perang Dingin, kemudian direnovasi.

        Bayangkan, bangunan bekas tempat penyimpanan rudal, sekarang lengkap dengan kolam renang dan bioskop.

        Douglas mengatakan idenya tidak terbatas pada struktur fisik.

        Dia menunjukkan bagaimana Jeff Bezos ingin pergi ke luar angkasa dan Mark Zuckerberg memiliki metaverse virtualnya, yang dia sebut variasi lain dari "melarikan diri" dari kita semua.

        "Ray Kurzweil, salah satu kepala ilmuwan di Google, punya tujuan utama membangun komputer yang dapat menampung otaknya," katanya.

        Lebih tinggi dari orang lain?

        Ketimbang hanya berfokus pada kebiasaan miliarder teknologi dan rencana mereka saat kiamat terjadi, Douglas jauh lebih tertarik dengan pandangan dan sistem yang membuat orang-orang ini punya ide yang aneh-aneh.

        Dalam tulisannya, ia menemukan istilah untuk pelarian ala sillicon valley ini: 'the Mindset'.

        "Secara sederhana, pola pikirnya ... adalah berapa banyak uang dan teknologi yang diutuhkan untuk melarikan diri dari kenyataan yang diciptakan sendiri, dengan menggunakan uang dan teknologi seperti sekarang ini," katanya.

        "Mereka merasa dirinya dewa. Stewart Brand, salah satu pahlawan teknologi kontra-budaya berkata, 'Kami adalah dewa'. Dan orang-orang ini memahaminya secara harfiah."

        Menurut Douglas ini adalah pola pikir ketika mereka merasa dirinya di atas orang lain.

        "Saya merasa ini adalah fantasi mereka. Mereka bukan hanya membuat rencana, tapi punya keinginan untuk menjauh dari kita semua, dengan cara apa pun," kata Douglas.

        Cara mencegah malapetaka

        Selama pertemuan di gurun, Douglas mencoba menyampaikan beberapa gagasannya kepada para miliarder teknologi soal pertumbuhan dan keberlanjutan, dan secara kritis melihat masa kini.

        "Saya berkata, 'Cara untuk mencegah kepala keamanan Anda menembak Anda ketika berada di bunker nanti adalah dengan membiayai perayaan Bat Mitzvah putrinya hari ini'."

        "Cara mencegah malapetaka adalah dengan mulai memperlakukan orang lain dengan lebih baik sekarang."

        "Tapi itu bukan cara Amerika. Itu tentu bukan pola pikir ... bagi mereka yang ingin berkuasa di atas umat manusia lainnya."

        Jadi apa pesan utama Douglas untuk umat manusia?

        "Kita perlu menyadari kalau kita menjalani semua ini bersama-sama, dan kita melakukan lebih sedikit [tak berambisius], menjadi lebih membumi, dan lebih sosial... Ini mengubah apa yang kita anggap sebagai kesuksesan."

        Dan khusus bagi para pengusaha teknologi: "[Tanyakan] bagaimana bisa bekerja keras untuk membuat dunia ini lebih baik?"

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: