Bukan Inflasi atau Gejolak Ekonomi, Ternyata Investor Lebih Prioritaskan Perubahan Iklim di 2023
Global Investor Survey PwC di tahun 2022 menggambarkan para investor yang mulai memiliki banyak prioritas walaupun dengan informasi yang terbatas. Walaupun investor melihat inflasi (67%) dan volatilitas ekonomi makro (62%) sebagai ancaman terbesar yang dihadapi bisnis selama 12 bulan ke depan di 2023, survei menunjukkan bahwa investor ingin manajemen terus menjadikan perubahan iklim sebagai fokus perusahaan.
Hampir setengah (44%) dari komunitas investor yang disurvei percaya bahwa mengatasi perubahan iklim harus menjadi lima prioritas utama untuk bisnis. Ini kontras dengan skor yang lebih rendah untuk isu-isu Environmental, Social, and Governance (ESG) masyarakat seperti melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja (27%) dan meningkatkan keragaman dan inklusi tenaga kerja (25%). Prioritas utama yang diidentifikasi untuk bisnis adalah inovasi (83%), diikuti dengan memaksimalkan profitabilitas (69%). Baca Juga: Jumlah Investor Pasar Modal Indonesia Kian Meningkat, BEI: 10 Juta Lebih, Mayoritas dari Ritel!
Namun, investor menghadapi keterbatasan informasi dan memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pelaporan keberlanjutan perusahaan. Sebagian besar investor percaya bahwa pelaporan perusahaan mengandung klaim yang tidak didukung tentang kinerja keberlanjutan perusahaan. Padahal memiliki kepercayaan dalam pelaporan keberlanjutan sangat penting bagi investor. Dalam hal jaminan, tiga perempat (75%) investor mengatakan bahwa jaminan yang wajar (tingkat yang diberikan dalam laporan keuangan) akan memberi mereka kepercayaan pada pelaporan keberlanjutan perusahaan.
Nadja Picard, PwC Global Reporting Leader, PwC Jerman, mengatakan, hampir delapan dari sepuluh investor memberi tahu kami bahwa mereka mencurigai greenwashing dalam pelaporan keberlanjutan, perusahaan dan regulator harus memperhatikannya.
"Kurangnya kepercayaan dapat mengganggu karena informasi keberlanjutan menjadi semakin penting bagi keputusan investor dan pemangku kepentingan lainnya. Ada kebutuhan bagi perusahaan untuk meningkatkan data, sistem, dan tata kelola mereka, dan bagi regulator untuk terus bergerak menuju standar pelaporan dan jaminan yang selaras dan dapat dioperasikan secara global,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Sementara itu, Julian Smith, PwC Indonesia Infrastructure Leader, menuturkan, keberlanjutan harus tertanam dalam strategi dan proses bisnis untuk membuat keputusan mengenai alokasi modal, investasi, dan aktivitas lain yang terlibat dalam eksekusi strategis.
"Integrasi faktor keberlanjutan dengan strategi bisnis inti dan upaya pengambilan keputusan paling berhasil ketika perusahaan memulai dengan seperangkat tujuan keberlanjutan. Sehingga perusahaan dapat mencari cara baru untuk bersaing, menilai kemampuan organisasi apa yang dibutuhkan dan menentukan tindakan berani sepanjang waktu," ungkapnya.
Adapun dalam survei tersebut, investor melihat penanganan perubahan iklim menguntungkan secara komersial. Dua pertiga (64%) mengatakan fokus mereka pada investasi ESG adalah karena keinginan untuk meningkatkan hasil investasi, dan 68% mengatakan melindungi hasil investasi juga merupakan pendorong. Sebagian besar, 82% mengatakan itu adalah tanggapan terhadap tuntutan klien mereka. Baca Juga: Moeldoko: Penanaman Mangrove di KTT G20 Menebalkan Komitmen Indonesia Tangani Perubahan Iklim
Pola ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim sebagai potensi risiko material bagi bisnis. Satu dari lima (22%) percaya bahwa perusahaan akan sangat atau sangat terpapar risiko iklim hanya dalam 12 bulan ke depan, dan jumlahnya mencapai 37% dalam jangka waktu lima tahun, sesuai dengan kekhawatiran tentang konflik geopolitik (juga 37%). Selama jangka waktu sepuluh tahun, transisi energi (50%) hampir terkait dengan perubahan teknologi (53%) sebagai tren yang paling mungkin berdampak besar atau sangat besar terhadap profitabilitas.
Investor juga mendukung langkah-langkah kebijakan publik yang signifikan untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan selisih 28 poin, mereka cenderung berpikir bahwa mengenakan pajak pada aktivitas yang tidak berkelanjutan akan menjadi 'efektif' daripada 'tidak efektif' dalam mendorong perusahaan untuk mengambil tindakan terhadap masalah keberlanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman