Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Wacana Indonesia Batasi Izin Pembangunan Smelter Nikel, Ternyata Ini Alasannya!

        Soal Wacana Indonesia Batasi Izin Pembangunan Smelter Nikel, Ternyata Ini Alasannya! Kredit Foto: ExxonMobil
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana akan membatasi pembangunan pabrik pemurnian mineral (smelter) nikel kelas II untuk menjaga supply dan demand biji nikel. 

        Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif mengatakan, keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan biji nikel diperlukan agar tidak menjadikan Indonesia sebagai pengimpor biji nikel. 

        Baca Juga: Perluas Diversifikasi Bisnis, United Tractors Akuisisi Perusahaan Nikel Senilai Rp1,64 Triliun

        Dimana, esensi moratorium ini ditujukan agar smelter yang sudah terbangun tetap mendapatkan pasokan bijih nikel untuk keberlanjutan operasi produksi.

        "Kementerian ESDM sudah ada rencana untuk melakukan pembatasan. Dari Kemenkomarves juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi Irwandy dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (23/10/2023). 

        Irwandy mengatakan, Pemerintah akan mengkaji secara komprehensif kebijakan ini, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik nikel berkadar rendah (limonite) maupun nikel berkadar tinggi (saprolite).

        "Saat ini, nikel yang mengalami proses pyrometalurgi ke arah stainless steel ada 44 smelter dan yang menggunakan proses hydrometalurgi ke arah baterai itu ada 3 smelter. Konsumsi biji nikel untuk pyrometalurgi dengan saprolite adalah sebesar 210 juta ton per tahun dan limonate sebesar 23,5 juta ton per tahun," ujarnya. 

        Lanjutnya, saat ini terdapat 25 smelter yang sedang tahap konstruksi membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. 

        Baca Juga: Jangan Cuma Nikel, Pemerintah Diminta Tegas Atur Social Commerce Buat Lindungi UMKM

        Sedangkan untuk arah proses baterai hydrometalurgi ada 6 smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan biji 34 juta ton per tahun.

        Pada tahap perencanaan ke arah pyrometalurgi, terdapat 28 smelter dan 10 smelter untuk hydrometalurgi dengan kebutuhan masing-masing 130 juta ton per tahun dan 54 juta ton per tahun. 

        "Total, smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang terbaru itu ada 116 melter yang terdiri dari 97 smelter pyrometalurgi dan 19 smelter ke arah hydrometalurgi," ungkapnya. 

        Baca Juga: Simbiosis Mutualisme Harita Group, Bukti Industri Nikel untuk Rakyat Indonesia

        Sementara itu, Dewan Penasihat Asosiasi Prometindo Arif S Tiammar mendukung langkah Kementerian ESDM yang akan memoratorium pembangunan smelter untuk nikel kelas II, menurutnya itu langkah yang baik untuk membatasi produksi yang berlebihan.

        "Sejujurnya saya sendiri sangat mendukung dengan upaya untuk membatasi pembangunan feronikel atau pembangunan proyek yang berbasiskan ferometalurgi yang mengkonsumsi biji nikel saprolite menjadi FeNi ataupun NPI ataupun mate. Sekalipun kita memiliki cadangan yang sangat besar di sisi hydrometalurgi yang bersumberkan dari nikel limonite atau nikel yang kadar rendah," ujar Arif.

        Arif mengungkapkan beberapa alasan menyetujui kebijakan moratorium ini. Pertama untuk membatasi kapasitas produksi yang berlebihan dan menempatkan Indonesia menjadi produsen NPI terbesar di dunia.

        "Kapasitas produksi saat ini sudah luar biasa besar, bahkan jumlahnya berdasarkan data tahun 2022 sebesar 9 juta ton NPI (nikel pig iron) dengan kandungan nikel 1,1 juta ton per tahun. Akhirnya menempatkan Indonesa sebagai produsan NPI terbesar dunia. Pembatasan produksi ini menjadi alasan pertama yang saya setuju dengan moratorium atau pembatasan," ungkapnya. 

        Alasan kedua, ketahanan cadangan yang dimiliki dan ketiga supply demand yang berdampak pada harga pasar NPI dunia.

        Baca Juga: 'Kiamat' Nikel 15 Tahun lagi, Peneliti TII: Diperlukan Pengelolaan, Pengawasan, dan Pemanfaatan yang Hati-Hati

        "Saya sendiri pelaku. Harga NP atau FeNi sendiri sekarang ini sangat rendah dibandingkan dua tahun depan karena jumlah NPI yang ada luar biasa berlimpah sehingga menyebabkan harga dari NPI itu turun. Itu yang menyebabkan kami sangat setuju dengan upaya moratorium ini," tutupnya

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: