Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Luddisme dan Transformasi Industri, Ini Tantangan Korporasi Besar di Era Digital

        Luddisme dan Transformasi Industri, Ini Tantangan Korporasi Besar di Era Digital Kredit Foto: YouTube/Indrawan Nugroho
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pada era yang senantiasa berubah, perkembangan teknologi yang semakin pesat menjadi hal yang tidak mengerankan lagi, seperti halnya dalam lanskap industri yang terus mengalami pergeseran. 

        Keinginan dan ekspektasi pelanggan juga tak pernah stagnan, selalu berubah sejalan dengan perkembangan zaman. Bahkan bentuk dan peran pasar pun mengalami perubahan yang dapat memengaruhi sektor bisnis.

        Baca Juga: Microsoft Luncurkan Laporan 'Dampak Ekonomi AI Generatif', Apa Isinya?

        CEO dan Co-founder CIAS, Indrawan Nugroho menyampaikan sebagai contoh konkretnya, mall-mall di berbagai tempat saat ini mengalami gejolak yang tidak menentu. Mereka terpaksa menjalani transformasi, mengubah fungsinya dari pusat perbelanjaan konvensional menjadi pusat gaya hidup yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. 

        “Menyadari fakta ini, penting bagi kita untuk tidak melawan perubahan, karena resistensi hanya akan menghambat kemajuan. Prinsip ini menjadi penting dan berlaku untuk semua jenis usaha, bahkan korporasi besar sekalipun,” ungkap Indrawan dalam kanal YouTubenya, Rabu (1/10).

        Di sisi lain, fenomena yang dikenal sebagai "luddisme" yang merebak di kalangan korporasi besar saat ini juga tengah menjadi sorotan. Indrawan menyebut istilah ini merujuk pada gerakan ludit yang pertama kali muncul di Inggris pada awal abad ke-19. Saat itu, sekelompok pekerja melancarkan protes dan menghancurkan mesin-mesin di pabrik. Mereka merasa terancam oleh kemajuan teknologi ini yang mengancam pekerjaan mereka.

        “Kini, istilah "luddisme" digunakan untuk menggambarkan individu atau kelompok yang menentang inovasi teknologi karena merasa terancam. Banyak industri, terutama di sektor manufaktur, mulai mengadopsi robotika dan otomatisasi dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Namun, adopsi teknologi ini seringkali menimbulkan kekhawatiran bahwa mesin akan menggantikan peran pekerja manusia,” jelas Indrawan.

        Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Jabar Diprediksi Akan Melebihi Nasional, Ini Kata BI

        Sebagian Serikat Pekerja dan korporasi mungkin ada yang menentang adopsi teknologi ini, lantaran takut terjadinya pemutusan hubungan kerja massal. Namun, luddisme ini bisa berdampak buruk bagi korporasi jika akhirnya menafikan perubahan dalam keinginan dan ekspektasi pelanggan yang dipicu oleh kemajuan teknologi.

        Indrawan menerangkan dengan kemajuan teknologi, konsumen kini memiliki akses yang lebih cepat, pilihan yang lebih banyak, dan kemudahan dalam bertransaksi. 

        “Misalnya, perkembangan e-commerce, aplikasi perbankan online, dan layanan on-demand telah mengubah ekspektasi konsumen, yang kini menginginkan layanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih personal,” kata Indrawan.

        Baca Juga: Efek Masifnya Penggunaan Teknologi AI, Microsoft Bongkar Peluang Ekonomi Baru di Indonesia

        Indrawan menambahkan ketika konsumen terbiasa dengan kecepatan dan kenyamanan yang diberikan oleh teknologi baru, ekspektasi mereka secara otomatis meningkat. Mereka mulai menuntut layanan serupa dari semua perusahaan yang mereka interaksikan.

        Sayangnya, beberapa perusahaan yang mungkin merasa terancam oleh teknologi baru justru memilih untuk menentangnya dengan harapan melindungi model bisnis lama mereka.

        “Pendekatan ini sebenarnya memiliki risiko, karena mengabaikan perubahan dalam ekspektasi konsumen yang tengah terjadi. Sebagai contoh, toko-toko ritel yang tidak beradaptasi dengan e-commerce akan kesulitan bersaing dengan pesaing yang telah beralih ke platform online,” beber Indrawan.

        Terakhir, Indrawan mengungkapkan dalam era di mana teknologi dan ekspektasi konsumen berkembang dengan cepat, resistensi terhadap teknologi bisa menjadi strategi yang berisiko. Untuk bertahan dan berkembang, perusahaan harus mempertimbangkan cara untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut daripada menentangnya. 

        Baca Juga: PLN EPI Ambil Peran Strategis Kembangkan Energi Bersih Basis Ekonomi Kerakyatan

        Pasalnya sebuah perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ekspektasi konsumen akan kesulitan untuk tetap relevan di mata pelanggan mereka.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Naeli Zakiyah Nazah
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: