Advokat Yuri Kemal Fadlullah buka suara terkait dengan drama yang terjadi akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan MK 90). Pihaknya menilai aturan ini harus patuhi oleh semua pihak termasuk KPU.
"Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi harus diikuti oleh setiap lembaga pembentuk aturan hukum, yang dalam hal ini tidak terkecuali oleh KPU. Kekuatan putusan MK memiliki kekuatan daya laku dan daya ikat, artinya dengan adanya putusan MK tersebut maka seketika berlaku dan mengikat," kata Yuri dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (26/11).
Baca Juga: Netralitas Pemilu Butuh Peran Masyarakat Sipil untuk Mengawasi Kerja Bawaslu-KPU
Yuri melanjutkan, MK telah memutus dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi 'Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden yaitu Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.
Dengan begitu, secara seketika ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan turunannya harus diselaraskan dan dimaknai berdasarkan putusan MK dimaksud. Tidak terkecuali aturan KPU (PKPU).
"Inilah yang menjadi vocal point putusan MK, bersifat final dan mengikat. Mengikat dalam artian bahwa putusan MK ini menghilangkan daya ikat terhadap keseluruhan Norma yang bertentangan dengan muatan putusan tersebut terhadap peraturan per-UUan yang terkait untuk itu secara seketika," tuturnya.
Menurutnya, apabila KPU tetap memaksa dan berpegangan pada PKPU mengenai persyaratan umur minimal 40 tahun, justru dianggap melakukan perbuatan pencideraan terhadap hak warganegara dan demokrasi.
Baca Juga: Soal Penetapan Prabowo-Gibran, Elite Demokrat: KPU Punya Justifikasi Hukum Kuat!
"Karena sejatinya pasal PKPU tersebut sudah tidak memiliki daya ikat dengan adanya putusan MK 90. Argumentasi yuridis diatas hendaknya dapat dijadikan suatu pijakan dalam memahami dan menjelaskan ditetapkannya Prabowo Gibran selalu capres/cawapres," pungkas Yusri.
Sebelumnya, 3 aktivis pro demokrasi yakni Petrus Hariyanto, Firman Tendry Masengi dan Azwar Furgudyama bersama dengan kuasa hukumnya dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia 2.0, Patra M Zen mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta Pusat, Kamis (16/11).
Mereka menuding KPU telah melakukan pelanggaran kode etik terkait penerimaan berkas dan penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Baca Juga: Tetapkan Prabowo-Gibran, KPU Dinilai Sudah Benar Ikuti Putusan MK
"Kami ke DKPP itu untuk mengajukan pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU. Terkait penerimaan berkas dan penetapan saudara Gibran Rakabuming Raka selaku calon wakil presiden dalam Pemilu tahun 2024," ujar Advokat TPDI 2.0, Patra M Zen di kantor DKPP.
Sementara, Masyarakat sipil atas nama Amunisi Peduli Demokrasi melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan MK 90) yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Amunisi Peduli Demokrasi menilai KPU mendukung putusan MK yang tidak mencerminkan nilai demokrasi melalui penerbitan Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2023.
"Kami meminta kepada Bawaslu untuk bersikap responsif dan menindaklanjuti terhadap segala bentuk kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk dalam tahapan pembentukan regulasi oleh KPU RK, khususnya dalam pembentukan PKPU 23/2023 yang mengandung cacat hukum serius," kata Ketua Tim Advokasi Amunisi Peduli Demokrasi Kurnia Saleh di Kantor Bawaslu, Jakarta.
Baca Juga: KPU Digugat Gegara Tetapkan Prabowo-Gibran, Pengamat: Situasi Serba Salah...
PKPU Nomor 23 Tahun 2023 dinilai menjadi potret penegasan posisi KPU, dan aturan tersebut dianggap cacat formal dan substansial.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar