Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Universitas Paramadina Gelar 'Meet The Leaders' Bersama Prof. Dr. Mahfud MD, Seruan Tegakkan Hukum Indonesia

        Universitas Paramadina Gelar 'Meet The Leaders' Bersama Prof. Dr. Mahfud MD, Seruan Tegakkan Hukum Indonesia Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Universitas Paramadina kembali menggelar forum “Meet The Leaders” yang kali ini mengangkat tema “Lead With Law, Stand With Integrity: Break The Chain of Corruption in Indonesia”.

        Acara yang berlangsung di Kampus Paramadina ini menghadirkan Prof. Dr. Mahfud MD, tokoh hukum dan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, sebagai pembicara utama. Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini, memberikan sambutan pembuka dalam forum yang sarat akan pemikiran kritis mengenai arah hukum dan demokrasi di Indonesia.

        Prof. Mahfud MD mengawali pemaparannya dengan menekankan pentingnya kehadiran institusi negara, khususnya aparat penegak hukum. Ia menyitir pernyataan tajam, “Enam puluh tahun hidup di bawah pemerintahan yang bodoh dan agak jahat masih lebih baik daripada satu malam tanpa kehadiran pemerintah.” 

        Ia juga mengingatkan bahwa tidak mungkin ada masyarakat tanpa hukum. Di mana ada masyarakat, di situ pasti ada hukum. Hukum menjadi penopang keamanan dan alat warga negara dalam menuntut hak-haknya.

        Namun, Mahfud juga mengingatkan bahwa demokrasi tanpa hukum akan menghasilkan anarki, dan hukum tanpa demokrasi akan melahirkan kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, hukum dan politik harus saling menopang, dibangun dalam keseimbangan.

        Mahfud MD kemudian mengulas perkembangan hukum dan demokrasi dari masa ke masa. Pada awal era Soekarno, Indonesia menganut demokrasi liberal dengan sistem hukum yang cukup berjalan. Namun pasca-1957, Soekarno berubah menjadi otoriter.

        Di masa Soeharto, tahun-tahun awal (1966–1969) menunjukkan kestabilan. Namun mulai 1971, kondisi memburuk dengan maraknya praktik korupsi. Era Soeharto pun dikenang sebagai rezim Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), sebagaimana tercatat dalam TAP MPR No. 15 dan UU No. 28.

        Reformasi 1998 membuka harapan baru. Lembaga-lembaga seperti KPK, MK, dan KY didirikan untuk memperkuat sistem hukum. Sayangnya, menurut Mahfud, sejak periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, berbagai ketimpangan dan pelanggaran hukum kembali mencuat, mulai dari jual beli suara, maraknya korupsi, hingga ketimpangan kekayaan.

        Baca Juga: Kementerian Hukum RI Bakal Tiru Sistem Pelayanan Publik Georgia

        Dalam bagian penting lainnya, Mahfud mengangkat isi buku “Paradox Indonesia” karya Prabowo Subianto. Buku tersebut menyoroti ketimpangan dan kerusakan sistemik yang melanda Indonesia, di antaranya:

        Pertama, Indonesia ini kaya raya, tapi rakyatnya miskin (Paradox Pertama). Terjadi aliran kekayaan Indonesia yang mengalir ke luar negeri tapi secara melawan hukum. 

        Kedua, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tidak pernah mencapai angka 50. Tertinggi 40 pada 2019, lalu 2020 turun dari 38 ke 34. 

        Ketiga, indeks gini ratio Indonesia selalu tidak pernah turun dari 0,38 dan pernah mencapai 0,41. Indeks gini ratio adalah indeks kesenjangan. Semakin besar berarti kekayaan menumpuk ke segolongan orang dan tidak bisa didistribusikan. Negara yang indeks gini rationya lebihi 0,400 akan negara tersebut runtuh. Contoh, negara-negara timur tengah ketika terjadi ’’musim semi arab’’ (Tunisia, Libia, Mesir 0,440).

        Keempat, uang yang diperoleh oleh para pengusaha disimpan di bank bank luarnegeri sebesar Rp11,400 triliun. Kekayaan alam dikeruk dan dijual tapi uangnya tidak dibawa masuk ke Indonesia. Sehingga tidak memberikan nilai tambah ke dalam negeri.

        Baca Juga: Saran Menteri PPPA untuk Proses Hukum Perempuan yang Terlibat Sindikat Narkoba

        Kelima, terjadi kerusakan lingkungan parah. Keenam, terjadi pencaplokan tanah-tanah negara dan kekayaan masyarakat adat. Ketika diproses pengadilan, pencaplokan itu divonis bebas oleh pengadilan dengan alasan belum tercatat sebagai kekayaan negara. Gambaran dari betapa kacaunya hukum di Indonesia.

        Ketujuh, terjadi ketimpangan kekayaan. 10% penduduk terkaya menguasai 77% kekayaan nasional. 90% penduduk lainnya hanya menguasai 23% kekayaan nasional. Atau 1 % penduduk terkaya menguasai 50,3% kekayaan nasional. Lainnya, 1% penduduk, menguasai 67% lahan negara. Sementara 99% penduduk lainnya hanya menguasai 33% lahan. Saat ini soal lahan mulai ditertibkan oleh presiden Prabowo dengan Kepres no 5 tahun 2025 sehingga lebih dari 1,2 juta hektar lahan sawit telah dirampas untuk negara.

        Kedelapan, Jumlah orang miskin di Indonesia berjumlah 60,3% 172 juta jiwa menurut IMF, jika garis kemiskinan diukur dari  6,85 USD/hari.

        Di samping itu, negara Indonesia ini dipimpin oleh kleptokratik atau "maling". Resep mengobatinya, Pertama, tegakkan sebagai negara hukum, jika negara ingin selamat. Sejarah mencatat, tidak ada negara yang bisa bertahan lama jika hukum tidak ditegakkan. Kedua, kejar koruptor sampai ke ujung dunia.  

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: