Gelombang PHK di Industri Rokok, Pengamat Pajak Minta Pemerintah Stop Naikkan Cukai
Kredit Foto: Antara/Adeng Bustomi
Industri hasil tembakau (IHT) kembali diterpa badai besar. Kali ini, giliran Gudang Garam salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia yang harus merumahkan sebagian karyawannya. Tekanan fiskal yang kian berat membuat perusahaan tak punya banyak pilihan, memicu kekhawatiran publik akan nasib ribuan pekerja yang selama ini menggantungkan hidup pada sektor tersebut.
Menurut Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, beban utama yang menghimpit industri bukanlah sekadar pelemahan ekonomi. “Faktor paling dominan adalah tekanan fiskal. Hampir setiap tahun tarif cukai naik dengan laju lebih tinggi dibandingkan kemampuan daya beli masyarakat. Akibatnya, produk hasil tembakau semakin sulit dijangkau konsumen,” jelasnya.
Fajry menambahkan, kebijakan fiskal yang terlalu agresif justru mendorong pergeseran konsumsi ke rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah. Kondisi ini menambah tekanan berlapis pada pabrikan legal yang selama ini taat aturan, termasuk Gudang Garam, hingga akhirnya terpaksa menekan produksi dan merumahkan sebagian pekerja.
Baca Juga: DPR Nilai PHK Besar-besaran di Gudang Garam Gegara Beban Cukai dan Regulasi Kesehatan
“Hal ini kemudian menyebabkan pabrikan yang selama ini patuh seperti Gudang Garam harus mengurangi produksinya, yang salah satu konsekuensinya adalah pengurangan tenaga kerja ,” ucapnya.
Pengurangan tenaga kerja tidak hanya terjadi di Gudang Garam. Banyak perusahaan rokok lainnya juga mengalami penurunan kapasitas produksi, yang berdampak langsung pada pengurangan tenaga kerja. Mengingat besarnya serapan tenaga kerja di sektor ini, kondisi tersebut dinilai perlu penanganan segera.
Sebagai solusi, Fajry mendukung usulan moratorium kenaikan tarif cukai rokok selama tiga tahun. Menurutnya, kebijakan ini akan memberikan ruang bagi industri tembakau dan menjaga keberlangsungan jutaan lapangan kerja.
“Kalau tujuannya untuk menjaga lapangan kerja maka moratorium kenaikan tarif cukai adalah solusi yang paling tepat,” tegasnya.
Dengan adanya moratorium, industri diharapkan dapat mempertahankan kapasitas produksinya tanpa harus menanggung beban fiskal yang terus meningkat. Ia juga menyoroti konsistensi arah kebijakan fiskal dalam RAPBN 2026, di mana pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan pajak dan akan fokus pada peningkatan kepatuhan administrasi.
Baca Juga: Laba Terjun Bebas, Isu PHK Massal Karyawan Gudang Garam (GGRM) Merebak
“Peningkatan kepatuhan seharusnya diterjemahkan dengan pemberantasan rokok ilegal, bukan dengan kenaikan tarif,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa penegakan hukum terhadap rokok ilegal jauh lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara dibandingkan dengan terus menaikkan tarif cukai. “Kalau pertimbangannya adalah penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan perlindungan pekerja maka moratorium kenaikan tarif yang disertai dengan penindakan rokok ilegal adalah opsi yang paling tepat,” ujarnya lagi.
Gelombang pengurangan tenaga kerjadi industri rokok menjadi alarm bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan fiskal yang diterapkan. Moratorium cukai dan penegakan hukum terhadap rokok ilegal dinilai sebagai kombinasi kebijakan yang paling rasional untuk menjaga keseimbangan antara penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan perlindungan tenaga kerja.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: