Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

SPKS Lakukan Pemetaan Kebun Swadaya di Jambi

Oleh: ,

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Keberpihakan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sangat diharapkan agar petani bisa menuju pengelolaan sawit yang berkelanjutan.

Sebagai agenda memperkuat kapasitas petani sawit di Indonesia, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) terus menginisiasi ide untuk membantu petani salah satunya adalah dengan mengajak lembaga-lembaga yang memiliki komitmen yang sama dalam melihat isu petani sebagai salah satu isu besar sekaligus solusi menuju produksi kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

Anggota SPKS, Sabarudin, menyampaikan salah satu ide besar yang dilakukan untuk memperkuat kapasitas petani adalah dengan melakukan pemetaan partisipatif dan survei kebun-kebun petani sawit swadaya bersama dengan 17 lembaga lainnya dengan nama konsorsium sahabat petani (friend of smallholders), yang nantinya akan berkontribusi dalam pembentukan Data Set Petani Sawit Swadaya di Indonesia. Selain itu, imbuhnya, pemetaan ini akan mengidentifikasi sebaran petani swadaya dalam satu desa dan sekaligus mengidentifikasi permasalahan yang paling mendasar di tingkat petani sawit swadaya.

"SPKS sementara melakukan pemetaan sawit dan survei petani sawit swadaya di 11 desa, enam kabupaten, dan tiga provinsi. Sekarang dua desa di Jambi, yakni di Desa Belanti Jaya, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batang Hari, dan Desa Tanjung Bananak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Hasil dari pemetaan dan survei ini akan diserahkan juga kepada pemerintah yang harapan utamanya adalah pemerintah dan stakeholder bisa mengunakan data tersebut untuk membantu petani," ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (5/6/2016).

Sabarudin menjelaskan gagasan ini muncul karena melihat potensi yang dimiliki oleh petani sawit swadaya sekarang. Ia menyampaikan bahwa sekitar 40% dari produksi sawit di Indonesia dihasilkan dari perkebunan kecil rakyat yang dikelola oleh petani sawit dengan produktivitas rata-rata antara 12-14 ton/ha/tahun.

"Pada tahun 2015, Indonesia memproduksi setidaknya 31,5 juta ton CPO di mana 21 juta ton diekspor ke luar negeri. Permintaan global terhadap CPO diprediksi akan terus meningkat hingga 100% pada tahun 2020," ujarnya.

Namun seiring dengan besarnya kontribusi tersebut, terangnya, petani masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang mendasar produktivitas serta harga sawit yang terus menurun. Penurunan produktivitas ini terjadi akibat berbagai faktor mulai dari bibit dan pupuk yang kurang baik, minimnya pengetahuan petani terhadap pemanfaatan teknologi, dan bahkan permasalahan fundamental seperti sulitnya petani memperoleh legalitas atas lahan mereka.

"Permasalahan tersebut diperparah dengan stigma negatif yang terus melekat pada kelapa sawit Indonesia sebagai produk yang dihasilkan dari praktik tidak bertanggungjawab dan berkelanjutan. Semua hal tersebut mengurangi kompetensi sawit Indonesia di pasar global. untuk itu, dari pemetaan dan survei yang dilakukan bersama dengan konsorsium 'Sobat Petani' diharapkan akan menjadi dasar untuk mulai melihat persoalan petani secara serius," paparnya.

Sabarudin menambahkan permasalahan fundamental lainnya yang masih menjadi kendala para petani sawit dalam praktik pengelolaan sawit sehari-hari adalah tidak adanya dokumen hukum terhadap lahan mereka sehingga sangat sulit bagi petani untuk mendapatkan Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan (STD-B) dan surat Surat Pernyataan.

"Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan dan Pemantauan Lingkungan (SPPL) yang sangat penting bagi petani. salah satunya adalah STDB bisa digunakan sebagai syarat akses terhadap bantuan keuangan. Misalnya mengakses dana dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Sawit (BPDP). Padahal petani sangat membutuhkan akses keuangan untuk membantu mereka melakukan penanaman ulang, pembukaan lahan tanpa cara membakar, maupun untuk membeli bibit dan pupuk berkualitas terbaik untuk menghasilkan TBS yang bermutu tinggi," jelasnya.

Ia memastikan semua hal tersebut merupakan akar permasalahan yang dialami secara nyata oleh petani sawit Indonesia yang sekaligus menyebabkan berkurangnya kompetensi sawit Indonesia di pasar global.

"Padahal, sawit merupakan komoditas strategis Indonesia. Indonesia-pun hingga saat ini masih menjadi pengekspor sawit terbesar di dunia," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: