Kebijakan biofuel yang dikenal dengan renewable energy directive (RED I) pertama kali dikeluarkan Uni Eropa pada tahun 2003 dengan tujuan untuk menggantikan posisi energi fosil dengan energi terbarukan.
Seiring berjalannya waktu, amandemen terhadap kebijakan tersebut sudah dilakukan sebanyak tiga kali yakni pada tahun 2009, 2016, dan 2018. Awalnya, status kebijakan ini adalah independen sehingga efek yang ditimbulkan bagi negara eksportir biofuel seperti Indonesia sangat positif.
Namun, evaluasi hasil kebijakan selama lima tahun sebelumnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan hingga dilakukan perombakan kebijakan oleh UE.
Baca Juga: Milenial Ini Sukses Bangun Bisnis Kosmetik Berbahan Baku Sawit
Perubahan yang mencolok dari RED I menjadi RED II pada Maret 2019 terletak pada target penggunaan energi terbarukan yang semula hanya 27% menjadi 32% pada 2030 mendatang. Selain itu, terdapat poin penting yang mengatur tentang penggunaan sustainable material sebagai bahan baku biofuel. Artinya, produk biofuel tersebut harus terbuat dari bahan-bahan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Polemik terkait poin sustainable material dalam kebijakan tersebut yakni adanya isu bahwa tanaman yang ditanam di lahan bekas pembakaran dapat merusak lingkungan. Di Indonesia, pembabatan dan pembakaran lahan untuk ditanami sawit dilakukan agar waktu dan biaya operasional yang dikeluarkan dapat diminimalisir serta efisien. Kondisi ini semakin memperkuat anggapan bahwa sawit Indonesia berkontribusi penuh terhadap isu deforestasi.
Lebih parahnya, minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dalam kebijakan tersebut dikategorikan sebagai bahan yang tidak ramah lingkungan sehingga penggunaannya harus digerus habis pada tahun 2030 mendatang. Aturan tersebut akan diberlakukan pada Januari 2021.
Saat ini, UE memberlakukan tarif masuk CPO dari Indonesia sebesar 8-18%. Mengingat Indonesia dan Malaysia menjadi produsen utama CPO sedangkan UE merupakan salah satu target pasar terbesar bagi kedua negara tersebut, kebijakan ini perlu dimintai pertanggungjawaban agar berkesimpulan adil.
Penerapan kebijakan RED II yang tidak adil akan dibalas oleh pemerintah Indonesia melalui strategi-strategi yang sudah dipersiapkan. Di antaranya, analisis secara mendalam peraturan RED II dengan ketentuan WTO, melanjutkan riset terkait ILUC (Indirect Land Use Change) sebagai bahan dasar pengajuan gugatan ke WTO, menyusun alternatif dampak ekonomi apabila terjadi penarikan CPO dari EU pada 2021, serta melakukan white campaign terkait industri minyak sawit Indonesia secara global.
Implementasi white campaign yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Belanda yaitu melalui program pengembangan kapasitas petani kelapa sawit di daerah sehingga dapat dipastikan bahwa minyak sawit Indonesia yang masuk ke Belanda berasal dari bahan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo