Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) membuka pintu, agar pihak yang dirugikan dalam persoalan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) ini mau memberikan informasi lebih dalam.
“Kalau misalnya yang memenuhi syarat itu sudah sekian banyak, kemudian ada versi lain lagi selain pemenuhan syarat itu, ada indikasi diskriminatif itu bisa jadi masalah. Tapi kalau sudah sesuai prosedur, ya memang tugasnya Kementerian terkait untuk memberikan RIPH,” ujar Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Baca Juga: KPPU Sudah Serahkan Saran Soal Impor Bawang Putih ke Pemerintah
Mulyadi mengatakan, dari 100 perusahaan yang mengajukan aplikasi permohonan RIPH, yang mendapatkan kuota hanya 10 perusahaan. Sedangkan tujuh dari perusahan tersebut, disinyairnya merupakan PT yang baru berdiri.
"Kalau isu pemburu rente dan bantuan elit politik agar mendapat RIPH atau SPI sebuah keniscayaan. Bila masih menggunakan sistem kuota atau wajib tanam, tapi itu hanya praduga," jelas Mulyadi kepada wartawan, Selasa (25/2).
Seperti diketahui, perusahaan yang melakukan impor bawang sebelumnya diwajibkan menanam komoditas bawang di dalam negeri, sebanyak lima persen dari kuota yang diimpornya. Hal itu diatur dalam Permentan Nomor 38 Tahun 2017, yang kemudian direvisi menjadi Permentan Nomor 39 Tahun 2019. Ada pula syarat-syarat lainnya yang tegas, termasuk bonafiditas perusahaan pengimpor dan gudang yang dimiliki. Termasuk kepemilikan gudang dan kendaraan yang sesuai persyaratan. Mulyadi mendesak, Kementan membuka profil perusahaan yang sudah memenuhi persyaratan.
Baca Juga: Alien Pertanyakan 13 Pengusaha Dapat Jatah Impor Bawang Putih
Terhadap persoalan RIPH, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan, mengatakan, pihaknya mengawasi ini. Soal pemberiannya dan pengaturan kuota, KPPU menekankan memang harus dilihat siapa saja yang mengajukan dan pemenuhan persyaratannya.
Menurut Chandra, ketika suatu perusahaan importir sudah memenuhi persyaratan maka RIPH harus diterbitkan setiap saat, dan tidak perlu menunggu-nunggu. KPPU berharap RIPH bisa terbit setiap saat agar harga-harga di internasional itu tidak bisa dipermainkan oleh pemain ekspor impor baik di dalam dan luar negeri.
“Kalau misalnya RIPH itu keluarnya terjadwal, itu malah akan mudah dipermainkan, mudah dibaca oleh produsen,” lata dia.
Ia juga menekankan, jika ada perusahaan yang merasa terdiskriminasi, KPPU terbuka untuk menerima laporan. Jika tidak ada importir yang melapor, bisa berimplikasi dianggap tidak ada masalah berarti di proses RIPH ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: