"Angka ini saja sudah menurunkan jumlah ekspor, apalagi saat ini pemerintah berencana akan menaikkan lagi dana pungutan sawit menjadi US$20 untuk dana pungutan sehingga total beban eksportir untuk pajak ekspor dan pungutan menjadi US$27 per ton atau 33 persen dari harga produknya, seperti barang mewah saja," ungkapnya.
Lebih lanjut Dikki juga mengatakan bahwa keinginan pemerintah untuk menggenjot ekspor justru berbanding terbalik dengan inkonsistensi kebijakan terkait pajak cangkang sawit. Akibatnya, harga ekspor menjadi tidak stabil.
Padahal, dengan kebijakan yang konsisten, devisa ekspor dari cangkang sawit diperkirakan dapat meningkat hingga mencapai Rp7,76 triliun pada 2023. Dengan asumsi, volume ekspor mencapai 5,1 juta ton.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Dikki mengusulkan agar harga cangkang sawit dapat ditetapkan secara flat. Hal tersebut dikarenakan importir cangkang sawit atau industri pembangkit listrik membutuhkan kontrak jangka panjang dengan kepastian harga yang relatif stabil.
Solusinya, bea keluar ditetapkan sebesar US$4 per ton dan dana pungutan ekspor sebesar US$3 per ton sebagai angka ideal untuk keberlangsungan ekspor komoditas tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: