Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pungutan Ekspor Cangkang Sawit, Ada Dilema?

Pungutan Ekspor Cangkang Sawit, Ada Dilema? Sejumlah petani mengumpulkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit untuk dijual kepada pengepul di Bagansiapiapi, Rokan Hilir, Riau, Sabtu (22/6/2019). Harga TBS kelapa sawit terus merosot pascalebaran di sejumlah daerah pesisir Riau seperti Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis dan Kepulauan Meranti hingga mencapai harga terendah Rp530 per kilogram. | Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Semakin populer di pertengahan 2020, peluang dan nilai ekonomi ekspor cangkang kelapa sawit (Palm Kernel Shell/PKS) semakin seksi. Cangkang merupakan limbah yang dihasilkan dari pemrosesan kernel inti sawit dengan bentuk seperti tempurung kelapa dan mempunyai kalor sekitar 3.500–4.100 kkal per kg.

Cangkang sawit mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan arang maupun bahan bakar lainnya. Dibandingkan batu bara, cangkang sawit memiliki kelebihan sebagai bahan bakar yang ramah terhadap lingkungan karena tidak mengandung sulfur sehingga tidak menghasilkan gas pencemar (SO2).

Dalam proses pengolahan tandan buah segar (TBS), setiap 1 ton TBS akan menghasilkan cangkang sawit sebesar 6,5 persen dari volume TBS tersebut atau sekitar 65 kg.

Baca Juga: Anak Dipekerjakan di Kebun Sawit, Mana Buktinya?

Baca Juga: Katalis Merah-Putih untuk D100, Yuk Kenalan Dulu...

Saat ini, cangkang sawit dijadikan sebagai sumber biomassa yang mulai sangat diminati dan dibutuhkan di pasar Asia, khususnya Jepang dan Thailand. Pada 2019, tercatat sebanyak 1,8 juta ton cangkang kelapa sawit telah diekspor dengan nilai ekonomi mencapai US$ 144 juta.

Cangkang kelapa sawit yang diekspor ialah cangkang yang tidak terserap oleh pabrik dan pasar domestik sehingga upaya pengolahan limbahnya hanya dapat dilakukan melalui kegiatan ekspor.

Namun, hingga semester I-2020, ekspor cangkang sawit ke Jepang baru mencapai 800 ribu ton dengan nilai devisa US$84 juta. Hingga akhir tahun ini, diprediksi akan terjadi penurunan volume ekspor menjadi 1,2 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit (Apcasi), Dikki Akhmar menjelaskan bahwa penurunan volume ekspor disebabkan tingginya bea keluar dan dana pungutan sawit yang mencapai US$22 per ton.

"Angka ini saja sudah menurunkan jumlah ekspor, apalagi saat ini pemerintah berencana akan menaikkan lagi dana pungutan sawit menjadi US$20 untuk dana pungutan sehingga total beban eksportir untuk pajak ekspor dan pungutan menjadi US$27 per ton atau 33 persen dari harga produknya, seperti barang mewah saja," ungkapnya.

Lebih lanjut Dikki juga mengatakan bahwa keinginan pemerintah untuk menggenjot ekspor justru berbanding terbalik dengan inkonsistensi kebijakan terkait pajak cangkang sawit. Akibatnya, harga ekspor menjadi tidak stabil.

Padahal, dengan kebijakan yang konsisten, devisa ekspor dari cangkang sawit diperkirakan dapat meningkat hingga mencapai Rp7,76 triliun pada 2023. Dengan asumsi, volume ekspor mencapai 5,1 juta ton.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, Dikki mengusulkan agar harga cangkang sawit dapat ditetapkan secara flat. Hal tersebut dikarenakan importir cangkang sawit atau industri pembangkit listrik membutuhkan kontrak jangka panjang dengan kepastian harga yang relatif stabil.

Solusinya, bea keluar ditetapkan sebesar US$4 per ton dan dana pungutan ekspor sebesar US$3 per ton sebagai angka ideal untuk keberlangsungan ekspor komoditas tersebut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: