Dari sini semua partai pastinya akan mengetahui jenis RUU yang di sahkan, dan harusnya kalau memang uu tersebut merugikan kepentingan partai maka kelompok yang tidak suka akan terlihat dengan jelas, bukan ujug-ujug menyatakan tidak setuju pada saat RUU akan di sahkan untuk di undang undang.
Dari sini dapat dipahami, dewan yang WO dari arena Paripurna adalah pihak yang punya kepentingan pada politik praktis, yang harusnya tidak perlu ditanggapi karena dia bagian kelompok avonturir yang sedang jualan sembako karena partainya semakin tidak dikenal orang. Sehingga RUU Omnibuslaw dijadikan arena buat menaikan popularitasnya.
Barangkali kalau tujuan seperti itu, mau menaikan popularitas karena mulai redupnya sebuah parpol tentunya masuk dalam katagori normal, akan tetapi tidak menjadi normal manakala demo yang di biayai menjadi rusuh dan anarkis. Dan menurut hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf J Undang-Undang D 1945 ayat 1 & 2 (amandemen kedua). Terdapat suatu pembatasan dalam Undang-undang 45 terkait kebebasan yang tidak absolute karena dibebani oleh moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Artinya demo atau menyampaikan suatu pendapat bukan berada di wilayah absolut atau sesuka hati yang tidak mencerminkan etika dan norma hukum yang berlaku, aturan ini dapat di lihat dalam uu no. 9 tahun 1998 pada pasal.6.
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: menghormati hak-hak azasi orang lain, menghormati hukum, memelihara ketertiban dll. Yang intinya dari pasal ini seseorang yang hendak menyampaikan pendapat diberi kebebasan sebebasnya dalam ranah yang sopan dan beradab, karena wilayah kebebasan bukan bersifat absolut.
Dengan melihat kondisi demo akhir-akhir ini dari kaca mata UU dan hukum, modelnya tidak lagi sesuai lagi dengan ketentuan karena mereka, peserta demo cendrung abai dan tidak taat hukum. Salah satunya, penyempaikan pendapat bukan dalam bentuk kata kata yang di bungkus orasi dan atau tulisan tulisan yang bersifat edukatif, akan tetapi dalam bentuk bentuknya yang berbau kekerasan dengan cara, Provokasi, kekerasan phisik maupun verbal. Merusak, menjarah serta melawan apart.
Padahal bentuk bentuk seperti telah di jabarkan diatas bukan demo yang dimaksud dalam uu akan tetapi adalah bentuk bentuk kejahatan yang di bungkus oleh demo. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlaku, karena kalau tidak masalahnya bukan penegakan hukum yang dilanggar akan tetapi masuk ranah kebiasaan sehingga lambat atau cepat demo itu harus pake batu, pake api dan pake kekerasan. Dan polisi sebagai garda terdepan dalam masalah hukum harus sudah memilah dan menegakan aturan demo, mana yang boleh mana yang tidak.
Saya juga membaca Polri sudah mempunyai perkap (peraturan Kapolri) No. 9 tahun 2008 tentang penyampaian pendapat. Dalam aturan itu jelas bahwa demo tidak dilarang asal berlaku tertib dan tidak melanggar hukum. Sehingga atas dasar itu Polri tidak boleh lembek dalam menghadapi demo kalau sampai anarkis, tindak tegas. Siapapun itu, karena pelanggaran hukum harus berlaku kepada siapa saja.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: