Kisah Perusahaan Raksasa: Japan Post Holdings, Kantor Pos Terkaya di Dunia
Dunia kini tengah didominasi oleh pesan instan berbasis internet dengan pemain utama seperti surel (surat elektronik), WhatsApp, Facebook dan lainnya. Tak mengherankan jika pemain lama di era analog seperti layanan pos menjadi terhambat bahkan hampir tersisih.
Menemukan cara untuk tetap relevan di era digital adalah masalah yang dihadapi layanan pos di hampir setiap negara, khususnya negara maju. Mengingat fakta bahwa banyak orang mengirim kartu elektronik (e-card) ulang tahun sebagai nostalgia nyatanya tidaklah cukup.
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: Home Depot, Bisnis Perabot Rumah Paling Jaya di AS yang Hartanya USD110 M
Layanan pos di sejumlah negara masih berambisi mencoba untuk tetap relevan di era teknologi. Salah satu strategi yang diluncurkan seperti menggabungkan pengiriman tradisional dengan dukungan lokapasar (e-commerce) untuk bisnis.
Dengan begitu terlihat jelas benang merah yang ditampilkan unit kantor pos. Adalah untuk mengenali bahwa cara orang berhubunan dengan objek fisik termasuk pos, serta ekspektasi orang seputar pengiriman instan dan fleksibilitas telah berubah secara mendasar di era digital.
Secara global, hanya satu perusahaan yang bergerak dalam bidang layanan pos yang menjadi perusahaan raksasa dunia. Adalah Japan Post Holdings, rumah penyedia layanan pos resmi di Jepang.
Dalam laporan Global 500 milik Fortune, Japan Post Holdings menduduki peringkat 60 daftar perusahaan raksasa dunia --diukur dari total revenues. Pendapatan total tahunannya pada 2020 mencapai 109,91 miliar dolar AS turun 4,6 persen dari 2019 sebesar 115,22 miliar dolar.
Catatan ini didukung oleh meningkatnya keuntungan bersih perusahaan 2,9 persen mencapai 4,44 miliar dolar AS. Sementara Japan Post pada 2020 ini memegang aset kekayaan sebesar 2,64 triliun dolar.
Kemunculan perusahaan layanan pos di Jepang ada setelah perubahan politik di negara Matahari Terbit itu. Di bawah Perdana Menteri Junichiro Koizumi, Jepang membubarkan majelis rendah, sehingga mampu mereferendum reformasi pos.
Kekuatan pendorong di balik reformasi pos di Jepang bukanlah persaingan dalam pengiriman pos, tetapi lebih kepada membuka aset keuangan yang sangat besar dari sistem pos. Sistem pos Jepang kini tidak hanya mencakup pengiriman pos tetapi juga bank pos besar dan operasi asuransi jiwa pos. Japan Post Bank kemudian menjadi bank terbesar di dunia dengan total aset 227 triliun yen (setara 2,07 triliun dolar AS).
Warta Ekonomi akan mengulas kisah perusahaan Japan Post Holdings sebagai salah satu konglomerat dalam bisnis layanan pos dunia, pada Selasa (3/11/2020). Untuk itu simak pembahasannya dalam tulisan sebagai berikut.
Diskusi awal privatisasi sistem pos di Jepang pertama kali muncul pada dekade 1980-an di bawah Perdana Menteri Nakasome. Isu ini mengudara setelah pemerintah khawatir soal defisit keuangan sekaligus mengawasi privatisasi tiga perusahaan besar yaitu Japan National Railways, Nippon Telegraph and Telephone (NTT), dan Japan Tobacco.
Sayangnya diskusi tersebut terhenti. Pada 1997, masalah privatisasi Japan Post Bank secara khusus diangkat kembali di bawah Perdana Menteri Hashimoto.
Penyedia layanan pos resmi di Jepang adalah Japan Post atau Nihon Yusei Kosha. Perusahaan publik ini didirikan berdasar pada Undang-Undang Pos Jepang tahun 2002 sebagai pewaris bekas Badan Layanan Pos (Yuseicho).
Privatisasi pada 2001 atau selama periode penurunan ekonomi Jepang, Juniciro Koizumi memprivatisasi sistem pos. Para pendukungnya menyebut strategi privatisasi itu adalah untuk efisiensi sektor keuangan, mengurangi pengaruh politik dalam penggunaan tabung pos, dan mengurangi salah urus birokrasi dana.
Perdana Menteri Koizumi segera membentuk komisi untuk privatisasi sistem pos pada 2002. Pada 2004, pemerintah Koizumi mengumumkan rencana ambisius sepuluh tahun untuk membagi Japan Post menjadi beberapa entitas yang diprivatisasi pada 2017.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: