Sukses Bikin Trump Keok, Guru Besar AS Sebut Biden Hadapi Tantangan Mirip dengan Indonesia
Namun pada saat yang sama, lanjut Backues, Joe Biden harus pula memisahkan kepentingan apa saja yang paling menonjol bagi pendukung Trump dan pendukungnya sendiri.
Basis kuat Donald Trump berada di wilayah pedesaan yang mayoritas penduduknya berkulit putih, sedangkan kantong pendukung Joe Biden pada umumnya tinggal di perkotaan.
"Karena mereka juga yang menyoblos dan bersuara bagi dia. Jadi mereka harus diutamakan. Nah justru itu yang membuat sangat sulit, dua-duanya harus seimbang. Dengan pendukungnya dia harus kuat. Tapi dengan Donald Trump kalau diabaikan, karena mereka hampir 50% dari orang yang bersuara, mereka masih mendukung Donald Trump," jelasnya.
Lindy Backues, yang bekerja di Indonesia selama periode 1989-2007, mengamati bahwa tantangan ini juga pernah dialami Indonesia.
"Itu tantangannya mirip sama waktu Pak Harto turun di mana Golkar dan lainnya harus ditenteramkan, harus dipuaskan. Ini sama dengan di sini. Tergantung situasi dan konteksnya. Dan selama ini terjadi maka Donald Trump dan anteknya akan anti, akan melawan."
Untuk tahap ini, masyarakat di AS pada umumnya belum merasakan ketenteraman, antara lain karena pendukung Presiden Trump marah atas kekalahan Trump dan berharap apa yang diklaim sebagai kecurangan pemilu dapat membalikkan keadaan.
"Situasinya masih sangat rumit dan belum pasti apa yang akan terjadi. Pemerintahan Trump masih berusaha membuat gangguan. Saya kira kebanyakan orang Amerika senang dengan hasil pemilu, tetapi banyak juga yang tidak senang sama sekali dan siapa tahu apa yang akan terjadi dengan mereka." Itulah pengamatan Patricia Henry, pensiunan guru besar dari Northern Illinois University yang fasih berbahasa Indonesia.
Tantangan ekonomi dan pandemi Covid-19
Sejauh ini masih terjadi kebuntuan di Senat terkait dengan penggelontoran dana untuk menopang ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kubu Republik menolak jumlah dana yang diajukan Demokrat, meskipun Presiden Trump sendiri telah membujuk Republikan untuk berkompromi.
Padahal talangan dana pemerintah federal dirasa amat diperlukan untuk menggelindingkan roda perekonomian.
Sejak pensiun sebagai guru besar di Northern Illinois University di DeKalb, Patricia Henry menetap di Chicago, salah satu kota terbesar di AS. Ia merasakan betapa lesu perekonomian di kota yang kaya akan gedung pencakar langit tersebut.
"Dulu kami di sini, aduh rasanya enak sekali. Bisa naik bus dan tidak susah jalan-jalan, ada banyak restoran dan rumah makan yang bagus, ada sandiwara dan lain-lain. Tapi sekarang semua sudah tutup," kata Patricia Henry dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, melalui sambungan telepon.
Menurutnya, tempat-tempat usaha tersebut akan memerlukan waktu lama untuk bangkit lagi.
"Kalau restoran saya kira akan banyak yang harus tutup selama-lamanya dan dan orang yang bekerja di bagian pelayanan memang akan lama sekali baru dapat kembali beroperasi."
Keterpurukan ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini, menurut Prof Henry, turut memicu kemarahan masyarakat.
"Kemarahan orang, ketidaktenangan orang, saya kira itu yang menimbulkan banyak demonstrasi dan lain sebagainya, selain ada dasar dalam beberapa hal, seperti kemiskinan dan rasisme. Tapi Covid ini menjadi api lagi."
Mantan wartawan Tempo dan sekarang menjadi chief operations officer di Indonesianlantern.com, portal komunitas Indonesia di Amerika Serikat, Didi Prambadi, menggarisbawahi bahwa jurang antara pendapatan dan pengeluaran semakin membengkak.
"Joe Biden bakal mewarisi masalah ekonomi Amerika dengan defisit sangat besar yaitu USD3,3 triliun (sekitar Rp48 kuadriliun)," ujarnya.
Menurut hemat Lindy Backues, profesor madya di Eastern University, Philadelphia, kekeliruan yang dibuat Presiden Trump adalah memisahkan antara pandemi dan ekonomi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: