Restrukturisasi Kredit Tembus Hampir Rp1.000 Triliun, Bagaimana Kesehatan Bank?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan, program restrukturisasi yang digulirkan OJK melalui POJK No.11/20 di tengah pandemi Covid-19 tak mengganggu kinerja perbankan. OJK menyebut, kondisi perbankan masih stabil dan terjaga.
Per 8 Maret 2021, total outstanding restrukturisasi kredit dari 101 bank hampir mencapai Rp 1.000 triliun tepatnya Rp 999,7 triliun. 80-90 persennya atau 6,17 juta adalah debitor UMKM.
Diakui Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Anung Herlianto, nilai restrukturisasi kredit memang besar. Namun dengan berbagai kebijakan restrukturisasi lanjutan OJK hingga Maret 2022. Serta kebijakan stimulus yang dikeluarkan pemerintah dan BI, maka sektor usaha kondisinya mulai membaik dan dampaknya terhadap perbankan akan berkurang.
"Hasil stresstest yang dilakukan OJK menunjukkan dampaknya tidak akan signifikan terhadap CAR perbankan. Jadi bisa disimpulkan bahwa kebijakan restrukturisasi tidak berdampak signifikan terhadap perbankan. Bahkan berhasil menjaga sektor usaha bertahan serta mulai bergerak lagi," tutur Anung dalam pelatihan dan media gathering di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/5).
Baca Juga: Kabar Gembira! OJK Bakal Kaji Penghapusan Kredit Macet UMKM di Perbankan
Meskipun pertumbuhan aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun kredit bank memang melandai ketika pandemi. Bahkan hingga Maret 2021 masih -2,14 persen. Hal itu kata Anung, perbankan makin selektif dalam penyaluran kredit di tengah persepsi tinggi risiko kredit seiring dampak Covid-19.
Triger-nya tegas Anung, adalah sektor kesehatan. Kebijakan apapun dilakukan tak akan berdampak jika masalah kesehatan Covid-19 ini belum tertangani lebih dulu.
Namun bukan berarti kredit tak berjalan. Anung merinci, di Januari 2021 saja fresh loan (kredit baru) disalurkan sebanyak Rp 95 trilun, Februari 2021 sebanyak Rp 114 trilun, dan Maret 2021 sebesar Rp 140 triliun.
"Lalu kenapa Maret 2021 kredit masih kontraksi? Ini karena pelunasan dan penghapusan kredit lebih besar dari pada pertumbuhan kredit. Jadi perusahaa tidak mengambil fasilitas justru mengambil pelunasan," jelasnya.
Begitu juga dengan indikator kesehatan bank, yang menurut Anung mayoritas masih dalam rentang yang masih wajar. Hal ini terlihat dari Loan at Risk (LaR) yang mencapai 23,30 persen.
Anung menegaskan, terlepas dari krisis dan kredit restrukturisasi, sebenarnya yang membuat otoritas tenang adalah, adanya nilai buffer bank ketika terjadi krisis, yang justru tumbuh menguat.
"Terlihat dari AL/NCD yang mencapai 154,53 persen per Maret 2021. Di mana batas minimal 50 persen. Nah ini terbukti naik 3 kali lipat dari normal," sebutnya.
Itu artinya, kata Anung, secara likuiditas bank tak bermasalah. Apalagi saat pandemi, masyarakat lebih banyak yang menabung uang di bank. Di mana CAR perbankan mencapai 24,1 persen atau tertinggi dalam sejarah.
"Masalah kesehatan triger harus diselesaikan, masalahnya mau stimulus apapun tak akan efektif jika kesehatan tak diprioritaskan," tegasnya.
Anung mengatakan, POJK 11/2020 merupakan kebijakan antisipasif dan countercyclical, bahkan sudah dilakukan sejak Februari 2019 sebelum Covid-19. POJK ini diibaratkan ventilator atau ruang bernafas kepada debitor untuk meredam dampak Covid-19.
Untuk selanjutnya kata Anung, kebijakan lanjutan atau kemudahan akan terus dilakukan sebagai langkah antisipatif. "Sekarang apa lagi? dosis stimulus relaksasi jangan sampai berlebihan. Covid-19 harus ada herd immunity-nya. Begitu juga di industri. Selagi menunggu ini, kami juga melihat ada potensi apa yang dilakukan, sehinga tetap ada aspek stimulus tapi tetap prudent," terangnya.
Misalnya di sektor properti, otomotif perlu dibantu dari sisi agunan, maupun bunganya dipermudah dan direlaksasi. "Tapi kebijakan ini juga perlu diwaspadai, tetap prudent dari sisi risikonya. Intinya jangan overdosis nanti recovery-nya susah," kata Anung.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: