Orang-orang HAM Teriak Minta Jepang Setop Proyek Real Estate di Myanmar
Beberapa organisasi hak asasi manusia (HAM), termasuk Human Rights Watch, mendesak Jepang membatalkan proyek real estate di Myanmar. Proyek tersebut melibatkan Kementerian Pertahanan Myanmar yang melakukan tindakan keras dan brutal terhadap massa demonstran penentang kudeta militer.
Sejumlah organisasi HAM itu berpendapat Jepang gagal menilai risiko terkait dengan melakukan bisnis di Myanmar.
Baca Juga: Amerika Wanti-wanti Negara ASEAN Serius Tangani Krisis di Myanmar Sebelum...
“Kami sangat mengutuk fakta bahwa dana publik Jepang kemungkinan berakhir di tangan Tatmadaw (istilah untuk militer Myanmar),” kata Direktur Eksekutif Mekong Watch Yuka Kiguchi pada Kamis (15/7/2021).
Organisasi-organisasi HAM tersebut mengatakan, melalui pembayaran sewa, proyek real estat Y Complex, menguntungkan Kementerian Pertahanan Myanmar. Perusahaan Jepang dan pejabat pemerintah mengatakan, mereka mengira uang sewa, yang dibayar perantara, pada akhirnya akan diberikan ke pemerintah Myanmar, bukan militer.
Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa perusahaan swasta Jepang dan entitas negara terlibat dalam pembangunan hotel serta kantor bernilai jutaan dolar di atas tanah milik Kementerian Pertahanan Myanmar. Pekan lalu, pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi di Myanmar Thomas Andrews mengatakan militer Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dia mendesak masyarakat internasional berbuat lebih banyak untuk menghentikan pelanggaran tersebut.
“Serangan junta militer yang meluas dan sistematis terhadap rakyat Myanmar merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Andrews saat berbicara di hadapan Dewan HAM PBB pada Rabu (7/7/2021).
Andrews mengungkapkan, tidak ada negara yang memberlakukan sanksi apa pun terhadap sektor minyak dan gas Myanmar. Meski demikian, dia mengakui ada beberapa negara yang melakukan hal itu pada perusahaan-perusahaan di bawah kendali militer.
“Pendapatan sektor minyak dan gas adalah sumber keuangan bagi junta dan diperkirakan mendekati apa yang dibutuhkan junta untuk mempertahankan pasukan keamanan yang membuat mereka tetap berkuasa. Mereka harus dihentikan,” ujar Andrews.
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 850 orang dilaporkan telah tewas di tangan militer.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: