Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mendorong Proses Transisi Energi, Mewujudkan Dekarbonisasi

Mendorong Proses Transisi Energi, Mewujudkan Dekarbonisasi Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Matahari masih belum memancarkan sinarnya. Dini hari di wilayah NTT. Warga masih terlelap di atas kasur ketika tiba-tiba air bah datang menerjang. Menyapu rumah, menghanyutkan warga.

Dampak negatif peningkatan emisi karbon semakin nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagaimana diketahui, peningkatan emisi karbon dapat mengakibatkan perubahan iklim global yang bisa mengakibatkan berbagai bencana seperti banjir bandang, kelaparan, hingga ketidakstabilan ekonomi.

Pada awal tahun 2021 terjadi banjir bandang di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disebabkan oleh siklon tropis Seroja. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, biasanya badai siklon di Indonesia tidak sampai ke daratan dan hanya terjadi di laut. Kasus di NTT terjadi karena telah terjadi perubahan iklim di Tanah Air.

Tercatat, suhu muka air laut di wilayah Samudera Hindia di dekat Indonesia mencapai 30 derajat celsius. Semestinya, suhu muka air laut di wilayah perairan tersebut rata-rata sekitar 26 derajat celsius.

Kala itu Warta Ekonomi sempat melakukan wawancara kepada warga yang terdampak langsung oleh bencana banjir bandang di wilayah NTT, khususnya warga Kelurahan Naibonat, Kupang. Bencana tersebut telah merenggut nyawa sanak saudara dan menyapu bersih harta benda serta rumah warga Naibonat.

"Rumah kami diterjang oleh banjir bandang. Kami terpaksa mengungsi ke rumah kerabat atau wilayah lain yang lebih aman," kata salah seorang warga Naibonat kepada Warta Ekonomi pada bulan April 2021 lalu.

Bencana alam yang terjadi di NTT telah menewaskan ratusan korban jiwa dan merusak ratusan rumah penduduk, sarana umum, serta infrastruktur. Selain itu, banjir bandang tersebut juga merusak puluhan sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, ruas jalan, perdagangan, dan fasilitas pemerintahan.

BMKG mencatat kejadian siklon tropis di NTT bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sejak tahun 2008 telah terjadi 10 kejadian serupa. Hanya saja, siklon tropis selalu terjadi setiap tahun sejak tahun 2017.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, sepakat bahwa setiap tahun krisis iklim menjadi semakin serius. Ia menegaskan perlu ada upaya ekstra untuk menghindari krisis perubahan iklim akibat pemanasan global. Salah satunya adalah dengan mendorong proses transisi energi menuju sistem energi bersih nirkarbon.

Perlu diketahui, sektor energi menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua di Indonesia dengan sekitar 40 persen dari total emisi antara tahun 2010 hingga 2018. Adapun, emisi dari sektor energi diperkirakan akan terus mengalami peningkatan menjadi 58 persen pada tahun 2030 mendatang.

"Transisi energi menjadi pilihan yang harus diambil oleh para pembuat kebijakan untuk menurunkan emisi rumah kaca," katanya dalam diskusi virtual, beberapa waktu lalu. 

Mendorong Proses Transisi Energi

Fabby Tumiwa meyakini bahwa negara Indonesia mampu mengembangkan energi terbarukan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 1.5 derajat dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 mendatang. Ia menjelaskan IESR telah merampungkan sebuah pemodelan netral karbon yang menunjukan bahwa Indonesia mampu mencapai hal tersebut.

"Secara teknis dan ekonomis, Indonesia mampu mencapai nol emisi di sistem energi pada tahun 2050," tegasnya.

Disampaikan, terdapat empat pilar penting dalam proses dekarbonisasi Indonesia. Pilar pertama ialah penggalakan energi terbarukan yang bersandar pada energi surya serta integrasi jaringan listrik untuk ekspor dan impor tenaga listrik antar-pulau.

"Interkoneksi antara Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau lain akan menjadi lebih penting setelah tahun 2030 karena sistem energi menjadi lebih berbasis listrik. Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi keseluruhan 158 GW perlu dibangun untuk menghubungkan Indonesia dari barat ke timur," paparnya.

Pilar kedua ialah elektrifikasi di sektor transportasi dan industri. Sebagai awalan, perlu ada penetrasi 100 juta motor listrik. Selain itu, dekarbonisasi kendaraan berat seperti pesawat terbang dapat dilakukan dengan mendorong pengembangan biofuel.

Untuk mendekarbonisasi sepenuhnya sektor transportasi, konsumsi hidrogen di sektor transportasi perlu dua kali lipat dalam lima tahun. Di sektor industri, listrik memainkan peran penting dengan hampir 67 persen panas berasal dari pemanas listrik pada tahun 2050. 

"Penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada tahun 2030. Suatu peningkatan yang sungguh dramatis bila dibandingkan dengan tingkat penjualan kendaraan listrik yang masih minim saat ini," tuturnya. 

Kemudian pilar ketiga adalah pengurangan penggunaan energi fosil terutama PLTU batubara karena tidak akan kompetitif pada 10-15 tahun ke depan. Hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada tahun 2025.

Terakhir, pilar keempat adalah pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar bersih bisa berupa hidrogen, bahan bakar sintetik, maupun biofuel untuk dekarbonisasi sistem transportasi dan industri.

Dalam laporan bertajuk Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050, IESR merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk segera mengambil keputusan dalam melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh di sistem energi.

"Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dengan posisi strategisnya di Asia Tenggara, Indonesia harus memimpin dalam mentransformasi sistem energinya dari sekarang. Dekarbonisasi sistem energi Indonesia dapat membawa dampak signifikan bagi kawasan dan menginspirasi negara lain untuk mempercepat transisi energi,"" ujar Fabby Tumiwa.

Selain itu, IESR mendorong adanya kepemimpinan politik yang kuat dengan menempatkan dekarbonisasi sistem energi sebagai prioritas nasional. Salah satu langkah penting yang pemerintah bisa ambil adalah dengan memperbaharui dan meningkatkan target NDC untuk tahun 2030 yang lebih ambisius dibandingkan dokumen LTS CCR 2050 yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

NDC yang lebih ambisius ini menjadi tonggak penting bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam COP 26 mendatang dalam memerangi perubahan iklim. IESR juga merekomendasikan agar pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang tepat untuk merealisasikan target emisi nol karbon 2050.

Disarankan, pemerintah segera menyetujui undang-undang energi terbarukan dan mengesahkan Perpres tentang tarif energi terbarukan yang memuat Feed-in-Tariffs untuk energi terbarukan skala kecil.

"Komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat dari Presiden Jokowi akan sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini," tegas Fabby.

Dampak Positif

Tentu saja akan ada berbagai macam dampak positif apabila Indonesia mampu merealisasikan target emisi nol karbon 2050. IESR menjelaskan kebijakan dekarbonisasi akan menghindari kerugian 5 kali lebih besar dibandingkan bertahan dengan bahan bakar fosil.

Tidak hanya itu, IESR memprediksi Indonesia akan mampu mengamankan pasokan energi nasional dan membuka peluang investasi yang besar sehingga berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara ini.

"Analisis IESR menunjukkan bahwa setidaknya 3,2 juta pekerjaan baru akan tercipta dari pembangunan yang berlandas pada emisi nol karbon 2050," lapor lembaga think tank tersebut.

Ditinjau dari dampak lingkungan, lanjut IESR, emisi nol karbon akan menjamin kualitas udara yang lebih bersih sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan dan mengurangi biaya perawatan kesehatan.

"Tentu saja, untuk merealisasikan hal tersebut perlu dukungan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah Indonesia. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan dan regulasi yang tepat dan menghapus regulasi dan kebijakan yang dianggap sebagai penghalang investasi teknologi bersih di negara ini," pungkas Fabby.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: