Mengapa Stereotip yang Disematkan pada Muslim di Amerika Pasca-insiden 9/11 Sulit Hilang?
Ingatan Shahana Hanif masih jernih saat diminta mengungkap tentang pengalamannya dipanggil "teroris". Dua pekan setelah serangan teror ke gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS) pada 9 September 2001, Hanif, yang kala itu masih berusia 10 tahun sedang berjalan ke masjid di sekitar rumah mereka di Brooklyn.
Mereka ingin menunaikan sholat. Namun dalam perjalanan menuju masjid, sebuah mobil tiba-tiba menepi dan menghampiri Hanif serta adiknya. Kaca di bangku pengemudi diturunkan. Dari dalam, sang sopir meludah lalu meneriaki Hanif dan adiknya "teroris".
Baca Juga: Sidang Serangan 9/11 WTC, Pemerintah AS Diduga Sembunyikan Barang Bukti
Kala itu, Hanif dan adiknya seketika disergap rasa takut. Mereka membatalkan perjalanan ke masjid dan berlari pulang. Menjelang 20 tahun peringatan serangan gedung WTC, Hanif masih dapat merasakan kengerian sekaligus kebingunannya kala itu.
Dia heran mengapa ada orang-orang yang memandangnya sebagai ancaman. Padahal pada 2001, ia hanya anak berusia 10 tahun.
"Itu (teroris) bukan kata yang bagus dan baik. Artinya kekerasan, artinya berbahaya. Itu dimaksudkan mengejutkan siapa pun yang menerimanya," ucap Hanif.
Hanif tak seorang diri. Banyak pemuda Muslim di Amerika yang tumbuh di bawah bayang-bayang serangan gedung WTC atau dikenal dengan istilah "9/11". Tak sedikit yang menghadapi sikap permusuhan, dicurigai, dan diawasi.
Sebuah jajak pendapat oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research yang dilakukan menjelang peringatan 20 tahun tragedi 9/11 menemukan 53 persen orang Amerika memiliki pandangan tak baik terhadap Islam. Sementara 42 persen lainnya berpandangan sebaliknya.
Ketidakpercayaan dan kecurigaan terhadap Muslim tidak dimulai dengan 9/11. Namun serangan itu secara dramatis meningkatkan sensitivitas tersebut. Ilmuwan politik di Christopher Newport University, Youssef Chouhoud, mengatakan karena terbiasa diabaikan atau ditargetkan maka komunitas Muslim yang luas dan beragam di AS menjadi sorotan.
"Perasaan Anda tentang siapa Anda menjadi lebih terbentuk, bukan hanya Muslim tapi Muslim Amerika. Apa yang membedakan Anda sebagai seorang Muslim Amerika? Bisakah Anda sepenuhnya menjadi keduanya, atau Anda harus memilih? Ada banyak pergulatan dengan apa artinya itu," kata Chouhoud.
Dalam kasus Hanif, tak ada cetak biru untuk menavigasi kompleksitas kala itu. Saat 9/11 terjadi, Hanif hanya seorang anak yang duduk di kelas lima sekolah dasar. Dia tak mengerti insiden 9/11 menempatkan komunitas Muslim di AS dalam bahaya.
"Mengibarkan bendera Amerika dari jendela lantai pertama kami tidak membuat saya lebih Amerika. Lahir di Brooklyn tidak membuat saya lebih Amerika," kata Hanif.
Guna mengikis stereotip yang disematkan pada Muslim di AS pasca-insiden 9/11, Mansoor Shams (39 tahun) memutuskan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Amerika. Dalam perjalanannya, dia membawa tanda bertuliskan "Saya Muslim dari Marinir AS. Tanyakan Apa Saja".
Saat berdinas di Marinir AS pada 2000-2004, Shams turut terimbas peristiwa 9/11. Rekan-rekannya di kesatuan kerap melecehkan dan mengejeknya dengan sebutan "teroris", "Taliban", serta "Osama bin Laden". Pengalaman itu pula yang mendorongnya melakukan perjalanan melintasi AS.
Selain mengikis stereotip, Shams ingin mengajari orang lain tentang Islam dan melawan kebencian lewat dialog. Salah satu interaksi paling berkesan terjadi saat dia mengunjungi Liberty University di Virginia pada 2019. Kala itu, Shams berdialog dengan para mahasiswa lembaga Kristen.
Beberapa di antara mereka, kata Shams, masih memanggilnya dengan pertanyaan tentang Islam. "Ada rasa saling mencintai dan menghormati," ucapnya.
Berbeda dengan Shams, tak lama setelah 9/11, Ahmed Ali Akbar (33 tahun) dan beberapa orang dewasa di lingkungannya menggelar pertemuan di sekolahnya di Saginaw, Michigan. Dia dan siswa berbicara tentang Islam dan Muslim.
Akbar mencurahkan isi hatinya untuk penelitian. Namun dia ingat ada beberapa pertanyaan yang membuatnya bingung. Seperti menanyakan keberadaan Osama bin Laden dan motif di balik serangan 9/11.
"Bagaimana saya bisa tahu di mana Osama bin Laden berada? Saya anak Amerika," ujar Akbar.
Kala itu, Akbar berpikir mencoba mengubah pikiran tidak selalu efektif. Menurutnya beberapa orang tidak siap mendengarkan. Akbar akhirnya mengalihkan fokusnya untuk bercerita tentang Muslim Amerika di podcast-nya "See Something Say Something".
"Ada banyak humor dalam pengalaman Muslim Amerika juga. Ini bukan hanya kesedihan dan reaksi terhadap kekerasan serta rasialisme dan Islamofobia," kata Akbar.
Dia pun menjadi percaya dalam membangun koneksi dari jenis yang berbeda. "Pertempuran kami untuk kebebasan sipil kami, terikat dengan komunitas terpinggirkan lainnya," ujarnya.
Sementara imam Ali Aqeel dari Muslim American Cultural Center di Nashville, Tennessee, mengatakan perjuangannya sebagai Muslim Afrika-Amerika berkutat pada isu ras dan identitas.
"Ketika kami pergi ke pusat-pusat (Islam) dan kami harus menghadapi rasa sakit yang sama seperti yang kami alami di dunia. Itu membuat kami putus asa karena kami mendapat kesan bahwa (dalam) Islam, Anda tidak memiliki perbedaan ras dan etnis," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto