Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Membaca Arah Baru Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia

Membaca Arah Baru Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia Kredit Foto: Bethriq Kindy Arrazy

Inkonsistensi Ekosistem Kendaraan Listrik

Peneliti Teknologi Energi dan Kendaraan Listrik Institute for Essential Service Reform (IESR) Idoan Marciano mengatakan, IESR mendefinisikan ekosistem kendaraan listrik mencakup 5 aspek, yakni infrastruktur pengisian daya, model dan pasokan kendaraan listrik, kesadaran dan penerimaan publik, rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik, dan insentif kebijakan pendukung dari pemerintah. Agar tercipta ekosistem kendaraan listrik yang ideal, kelima aspek tersebut perlu saling mendukung satu sama lain.

Pemerintah menargetkan jumlah kendaraan listrik di Indonesia hingga 2030 mencapai 2,2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik. Bagi Idoan, target tersebut masih jauh panggang daripada api.

Baca Juga: Kadin Indonesia: Indonesia Akan Jadi Produsen Baterai Mobil Listrik Terbesar di Dunia

"Kalau dilihat grafiknya tidak sampai ke situ jika mengikuti tren yang ada sekarang. Selain itu, pemerintah menurut saya kurang konsisten. Mereka membuat target EV, tapi untuk target infrastruktur pengisian daya listrik memakai proyeksi," jelasnya.

Lebih lanjut, Idoan mengatakan target jumlah unit EV yang ditetapkan pemerintah tidak sejalan dengan target penyediaan pengisian infrastruktur daya listrik yang masih menerapkan proyeksi. Maksudnya, pembangunan SPKLU dilakukan menyesuiakan dengan keberadaan jumlah unit kendaraan listrik yang sudah beroperasi di jalanan. Padahal, membangun ekosistem kendaraan listrik perlu penetrasi pembangunan SPKLU dan kendaraan listrik dengan rasio 1:10.

Lambatnya penetrasi penggunaan kendaraan listrik, khususnya roda empat, salah satunya disebabkan oleh masih terbatasnya penyediaan SPKLU. Keterbatasan SPKLU menyebabkan masyarakat memikirkan ulang untuk membeli mobil EV sebagai pilihan. Sebab, konsumen akan berpikir seribu kali untuk bepergian jauh menggunakan mobil EV di tengah terbatasnya penyediaan SPKLU.

"Kendaraan listrik secara global 80 persen rata-rata pengisian daya dilakukan di rumah. Problemnya 20 persen ini pengisian dilakukan di luar. Kalau infrastruktur SPKLU tidak mencukupi juga membuat konsumen ragu untuk beralih," katanya kepada Warta Ekonomi.

Apabila ketersediaan infrastruktur SPKLU tercukupi, industri kendaraan bermotor ke depan perlu memperhatikan model dan penggunaan teknologi yang familiar di kalangan masyarakat dan cocok dengan pasar Indonesia. Dengan begitu, hal itu akan memberikan kesadaran dan penerimaan masyarakat, selain juga diperlukan insentif yang menarik diberikan pemerintah kepada konsumen.

Meski penetrasi penggunaan mobil listrik masih cenderung melambat, Idoan menyarankan agar pemerintah dapat memulai penetrasi kendaraan listrik dimulai dari motor listrik yang harganya tergolong terjangkau dan tidak setinggi mobil listrik. Penetrasi lainnya juga dapat dilakukan ke sektor transportasi publik yang dinilainya memiliki mobilitas tinggi dan menghasilkan emisi karbon yang besar.

Sektor swasta, seperti Blue Bird dan Grab sudah memulainya dengan menyediakan mobil listrik dan motor listrik bagi para mitra driver yang ada di bawah naungannya. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta, kata Idoan, tahun ini menargetkan penggunaan bus listrik sebanyak 100 unit. Namun, yang sudah beroperasi di jalanan baru sebanyak 3 unit.

"Kemungkinan karena faktor pandemi Covid-19. Dapat informasi dari Trans Jakarta ditargetkan sebanyak 60-70 unit akan dioperasionalkan hingga akhir tahun ini. Namun, belum terealisasi sampai sekarang karena terhambat proses sertifikasi dan percobaan bus listrik," katanya.

Idoan mengungkapkan, upaya memulai transisi kendaraan listrik khususnya motor listrik sudah dimulai dan sukses dilakukan oleh China. Tingginya penetrasi penggunaan motor listrik di China disebabkan pada 2010, Shanghai mengalami polusi yang terbilang parah. Sejak itu, pemerintah China mulai menerapkan kebijakan pelarangan kendaraan konvensional. Langkah taktis dan realistis untuk memulai transisi kendaraan listrik dimulai dengan penetrasi pengguaan motor listrik.

Sementara itu, ekosistem kendaraan listrik tercipta dengan baik di Norwegia. Bahkan, di negara tersebut tembus 50 persen penjualan kendaraan listrik di dunia dalam per tahunnya. Dengan didukung bauran EBT yang sudah mencapai 90 persen ke atas, Pemerintah Norwegia mengeluarkan sejumlah kebijakan transisi kendaraan listrik yang progresif. Beberapa di antaranya seperti penerapan PPn mobil konvensional yang tinggi dan sebaliknya penghapusan PPn mobil listrik.

Keberadaan kendaraan listrik memberikan beragam manfaat, baik secara ekonomis maupun untuk lingkungan. Demi mendorong penggunaan kendaraan listrik secara masif, pemerintah perlu memberikan sejumlah insentif agar meningkatkan kesadaran dan penerimaan publik. Di sisi lain, keberadaan infrastruktur SPKLU yang jumlahnya masih terbatas juga perlu terus didorong agar dapat memberikan kepastian penyedia pengisian listrik kepada publik.

Negara-negara yang sudah memiliki ekosistem kendaraan listrik yang baik seperti Norwegia dan China, perlu dijadikan sebagai contoh. Pengalaman dari kedua negara tersebut menunjukkan kejelasan dan ketegasan melalui regulasi pemerintah sangat memengaruhi keberhasilan terciptanya ekosistem kendaraan listrik. Tidak ada kata terlambat bagi Indonesia untuk memulainya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: