Hampir 50 persen bank di Indonesia yang mewakili 91 persen total aset pasar perbankan telah berkomitmen dalam penerapan keuangan berkelanjutan yang diukur dari Laporan Keberlanjutan dari tiap-tiap bank. Langkah ini seiring dengan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060 mendatang.
Namun, kenyataanya baru-baru ini data Urgewald mengungkapkan bahwa sejumlah bank nasional di Indonesia masih mengalirkan dananya ke proyek-proyek batu bara, baik PLTU maupun pertambangan, selama 2018-2020. Sebagaimana diketahui, batu bara merupakan penyumbang emisi karbon terbesar dari sektor energi.
Baca Juga: Bilang Mau Kejar Transformasi Energi Hijau Tapi Pembangunan PLTU Masih Lanjut, Ini Kata Pemerintah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Lewat POJK tersebut, bank diharuskan untuk menerapkan keuangan berkelanjutan. Ada 13 bank yang sudah berkomitmen, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, BJB, Bank Artha Graha, Bank Muamalat, BSI, CIMB Niaga, OCBC NISP, Maybank, Bank Panin, dan HSBC Indonesia.
Peneliti Trend Asia, Andri Prasetyo, melihat adanya paradoks antara komitmen perbankan sebagai tindak lanjut terhadap POJK 51/2017 dengan realita yang masih membiayai proyek-proyek batu bara. Menurutnya, POJK 51/2017 diperhalus menjadi green washing bagi perusahaan-perusahaan perbankan.
Bank-bank domestik, lanjut Andri, sebenarnya adalah first movers untuk sustainability banking. BRI misalnya menyatakan dengan eksplisit dalam sustainability report-nya tidak lagi mendanai proyek yang berbahaya dan merusak lingkungan. Tapi secara historis, BRI dan juga Bank Mandiri paling banyak mendanai proyek-proyek batu bara.
"BRI misalnya, kalau dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan Rp880 triliun, untuk sektor energi terbarukan Rp14,6 triliun. It means cuma 1,5 persenan," ujarnya.
Baca Juga: Kejar Emisi Netral 2060, Pemerintah Ingin Pensiunkan PLTU Tanpa Rugikan Investor
"Pengategorisasian total pernyaluran kredit agak bermasalah. BRI membuat seolah-olah total penyaluran untuk sektor ramah lingkungan besar, ternyata saat dibongkar (kredit) UMKM," paparnya kepada Warta Ekonomi di Jakarta, (2/12/2021).
Menurut data Urgewald selama Oktober 2018-Oktober 2020, BRI menyalurkan kreditnya ke PLN sebanyak US$1.497 juta, Magna Resources Corporation senilai US$150 juta, dan Darma Henwa US$115 juta. Terbaru, BRI terlibat dalam PLTU Jawa 9 dan 10.
"Dalam laporan keuangannya, mereka menyatakan berkomitmen mendukung pemerintah menyelesaikan proyek 25.000 megawatt, yang sebagian besar proyeknya PLTU," beber Andri.
Sementara Bank Mandiri yang paling banyak mengucurkan kreditnya ke proyek-proyek batu bara senilai total US$4.627. Sebut saja ke PLN US$2.983 juta, Indika Energy US$360 juta, Inalum US$353 juta, Magna Resources Corporation US$272, Sinar Mas Group US$214 juta, Titan Infra Energy US$133 juta, United Tractors US$131 juta, Toba Bara Sejahtra US$121 juta, Delta Dunia Makmur US$33 juta, dan Adaro Energy US$27 juta.
Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Koordinator ResponsiBank, membeberkan, total ada senilai US$6,29 miliar atau Rp89 triliun dan underwriting atau penjaminan emisi US$2,64 miliar atau Rp16,6 triliun, yang dialirkan enam bank nasional ke proyek energi batu bara.
Padahal saat ini dengan ada tren pembiayaan berkelanjutan, lembaga keuangan diharapkan mulai mengalihkan pendanaan ke industri lebih berkelanjutan. Batu bara, kata Maftuchan, merupakan salah satu energi yang menghasilkan emisi dan banyak investor global mulai menyatakan tidak akan lagi membiayai batu bara, baik di hulu (pertambangan) maupun PLTU batu bara.
Lanjutnya, bank nasional ini memberi pendanaan kepada perusahaan tambang batu bara dan PLN yang juga menggunakan batu bara sebagai bahan bakar listrik.
Andri mengkritisi POJK 51/2017 karena tidak secara eksplisit membatasi atau bahkan melarang perbankan membiayai proyek-proyek energi batu bara. Konseptualisasi ranah proyek yang boleh dan tidak boleh didanai pun tidak jelas.
"Ternyata ada beberapa perusahaan yang masih boleh mendanai PLTU batu bara dan pertambangan batu bara. Bagaimana mungkin ada peraturan OJK tentang keuangan berkelanjutan tetapi pada saat yang sama masih boleh atau secara masif mendanai proyek-proyek batu bara," ujarnya.
Baca Juga: Cangkang Sawit: Solusi Keandalan Bahan Baku PLTU Pengganti Batubara di Kalbar
"Bank kemudian melihat POJK ini sebagai dasar baru. Buat mereka, KPI-nya adalah hanya ikut (POJK)," sambungnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: