Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Selebrasi MotoGP, Kelangkaan Minyak Goreng dan Sejarah yang Terulang

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Inisiator dan Penggugat UU IKN ke MK

Selebrasi MotoGP, Kelangkaan Minyak Goreng dan Sejarah yang Terulang Kredit Foto: WE

Pada selebrasi MotoGp 1997, Presiden Soeharto hadir di Sirkuit Sentul dan disambut gegap gempita dan tercatat menyaksikan laga selama 5 jam. Pemenang Moto kelas 125 cc tahun 1997 adalah Valentino Rossi yang tergabung tim Aprilia. Rossi saat itu umurnya 18 tahun.

Selebrasi MotoGP dan Kelangkaan Bahan Pokok

Ada persamaan MotoGP 1997 dan MotoGP 2022 keduanya diseleggarakan saat situasi negara sedang tidak baik-baik saja. Tahun 1997, Krisis ekonomi sudah masuk 1 bulan sebelum penyelenggaraan MotoGP. Rupiah sudah melemah dan harga pokok terutama barang impor sedang naik.

Tahun 2022, MotoGP diselenggarakan saat kelangkaan minyak terjadi dan ada ancaman kenaikan harga minyak akibat Perang Ukraina-Rusia.

Dalam komunikasi publik terdapat persamaan 1997 dan 2022 dimana selebrasi motoGP dibuat sangat meriah untuk melupakan kesusahan yang sedang terjadi di publik.

Namun ada perbedaan selebrasi motoGP 2022 diselenggarakan ditengah adanya narasi pemerintah untuk melakukan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.

Tahun 2022 Presiden membutuhkan momen untuk menaikan citra dan elektabilitasnya agar agenda  penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden tersebut mendapat dukungan publik.

Namun Presiden Jokowi kelihatannya jauh lebih cerdik dari Presiden Soeharto. Momen Selebrasi MotoGP dimanfaatkan untuk beberapa agenda. Sekali Mendayung, Dua-Tiga Pulau Terlampaui. Agenda peningkatan citra politik Presiden sekaligus agenda melupakan kesulitan publik yang sedang terjadi.

Padahal penyelenggaraan MotoGP 2022 publik menyaksikan antrian emak-emak untuk mendapatkan minyak goreng yang telah merenggut korban jiwa. 

Ditengah persoalan kenaikan harga dan kelangkaan pangan yang melanda, kita bisa melihat bagaimana Presiden Jokowi lebih sibuk dan sigap pada kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial dan pencitraan yang tidak memecahkan masalah yang saat ini sedang terjadi. 

Ini membuat wajah pemerintah dirasa kurang mempunyai sense of crisis atas persoalan-persoalan yang sedang terjadi. 

Dalam hal ini MotoGP adalah komunikasi publik yang menunjukkan presiden ini mempunyai bobot kepada pencitraan dari pada penyelesaian masalah pangan. 

Ini menunjukkan presiden tidak fokus kepada pemenuhan hajat hidup orang banyak. 

Presiden seharusnya lebih intens melakukan upaya-upaya untuk memastikan persoalan kenaikan harga dan kelangkaan pangan ini agar bisa segera di atasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak semestinya mempunyai skala prioritas yang lebih utama. Presiden Soeharto gagal memprediksi bahwa ternyata tidak lama dari selebrasi MotoGP 1997 tersebut, krisis ekonomi makin suram dan makin dalam.

Bila Presiden Jokowi ingin berbeda dengan Nasib Presiden Soeharto yang akhirnya setelah 8 bulan selebrasi motoGP 1997 itu jatuh dari kepresidenannya maka Presiden Jokowi harus lebih banyak memikirkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak daripada selebrasi yang hanya memenuhi kepuasan dan hajat elit tertentu. Semoga Presiden mendengar!

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: