Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menanggapi soal Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan empat tersangka dalam kasus izin ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dengan salah satunya adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana.
Menurutnya, hal ini diduga ada keterlibatan. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui jika kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah dan subsidi belum efektif membantu masyarakat. Jokowi pun menduga ada permainan soal migor.
Baca Juga: Dukung Kejagung Kejar Mafia Migor, Deddy PDIP: Pasti Ada Pemain Lain!
"Kalau untuk buktikan saya ngga ada dan berhak. Namun, kalau menduga-duga sudah ada dari dulu, apalagi sudah dilakukan operasi pasar dan bantuan tetap tidak akan bisa mengubah harga bukan. Maka, pengawasan juga harus dilakukan secara ketat," jelas Esther, Rabu (20/4).
Menurutnya, semua ini tidak akan terjadi jika ada pengawasan yang ketat di dalam Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI. "Apa bisa mengambil tindakan sewenang-wenang tanpa ada perintah dari atasan," ucapnya.
Dia juga mengkritiksi soal layanan bantuan yang sempat dilakukan Kemendag RI. Pihaknya mengatakan layanan itu tidak cukup membantu. "Apalagi, saat ini menjelang Lebaran, mau dilakukan berapa banyak operasi pasar dan program lainnya tidak akan efektif. Karena dari dulu itu sistem perdagangan kita sudah oligopoli," jelasnya.
Esther menjelaskan, dengan adanya pasar oligopoli, perilaku kartel sering kali terlihat di pasar. Apabila harga Crude Palm Oil (CPO) dunia naik, koordinasi antipersaingan tanpa komunikasi dan kesepakatan harga tertulis (conscious parallelism) terdeteksi. Produsen sepakat segera menyesuaikan harga minyak goreng domestik dengan harga CPO dunia.
Sementara itu, faktor kesalahan kedua pemerintah adalah melakukan sistem CPO, padahal CPO ini jika dijual ke biodiesel mengacu pada harga internasional. Sementara, kalau CPO dijual di dalam minyak goreng, harga nilainya domestik.
"Tentunya, pengusaha (orang) lebih memilih menjual ke biodiesel karena harganya lebih tinggi. Nah, itu jadi biang keroknya. Jadi akhirnya produksi minyak goreng juga turun ya. Lalu, yang ketiga, sudah langka dan produksi tidak sama dengan yang sebelumnya harganya kan menjadi naik," sambungnya.
"Ya terus naik harganya, jadi memancing di air keruh, jadi memanfaatkan di kondisi ini. Belum lagi ada kebijakan dari pihak regulator sudah membuat kebijakan HET sehingga tambah hilang dong. Meskipun sudah buat kebijakan operasi pasar, tetap tidak bisa karena masyarakat Indonesia terbiasa masak dengan makanan berminyak," ucap Esther.
Maka dapat disimpulkan, berapa pun harga minyak tidak akan mengurangi konsumsi minyak goreng. Sebab, masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan berminyak. "Jadi memang tidak ngurangin karena masyarakat kita umumnya tidak bisa hindari minyak itu, yang memang menjadi bahan utama pokok memasak," jelasnya.
Lalu, faktor terakhir yang dibuat pemerintah ialah biaya distribusi yang selalu tinggi dari dulu sehingga membuat biaya produksinya jauh lebih tinggi sehingga merusak harga di pasaran. Terakhir, faktor musiman, seperti bulan Ramadan membuat konsumsi naik. "Itu adalah faktor-faktor yang membuat minyak goreng tidak akan turun jika tidak dibuat kebijakan tepat seperti yang disarankan pakar-pakar ekonomi," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah agar waspada potensi penyelewengan atas kebijakan subsidi minyak goreng curah. Oleh sebab itu, pemerintah harus tegas dalam menyikapi kasus ini agar tidak terulang kembali.
Bhima menegaskan, akar masalah munculnya suap di internal Kementerian Perdagangan (Kemendag RI) adalah karena disparitas harga crude palm oil (CPO) dan minyak goreng yang diekspor dengan harga ddalam negeri terlalu jauh.
"Kondisi ini dimanfaatkan para mafia untuk melanggar kewajiban DMO (Domestic Market Obligation), khususnya CPO. Artinya, yang salah bukan kebijakan DMO untuk penuhi pasokan bahan baku migor di dalam negeri, tapi masalahnya di pengawasan," kata Bhima.
Saat ini pasokan minyak goreng kemasan memang seharusnya aman ketika Harga Eceran Tertinggi (HET) dan DMO diterapkan. "Buktinya stok minyak goreng hasil DMO per 14 Februari-8 Maret 2022 telah mencapai 573.890 ton, melebihi kebutuhan bulanan," papar dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Widihastuti Ayu
Editor: Puri Mei Setyaningrum