Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sri Mulyani: Masih Ada Kekhawatiran Baru, Ancaman Resesi dengan Inflasi Tinggi Sangat Nyata

Sri Mulyani: Masih Ada Kekhawatiran Baru, Ancaman Resesi dengan Inflasi Tinggi Sangat Nyata Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan

Di Amerika Serikat, secara historis kenaikan inflasi ini direspons oleh Federal Reserve dengan menaikkan suku bunga ekstrem pada tahun 1974 hingga menyentuh angka 13 persen. Dan waktu itu, kemudian ekonomi Amerika mengalami resesi dengan minus 0,5 persen pada tahun 1974, serta pada tahun selanjutnya masih mengalami pertumbuhan negatif sebesar minus 0,2 persen. 

Kemudian, pada Tahun 1980 inflasi di Amerika juga terjadi karena harga minyak yang tinggi yang juga direspons dengan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) suku bunga melonjak 20 persen. Inflasi AS tahun itu memang dapat dikendalikan dalam 1-2 tahun, namun saat itu pertumbuhan ekonomi Amerika juga mengalami resesi minus 2,02 persen di tahun 1980 dan minus 1,9 persen pada tahun 1982.

Baca Juga: Menkeu Nilai Asumsi Inflasi Tahun 2023 Realistis, pada Kisaran 2,0% hingga 4,0%

"Melihat histori tersebut, inflasi tidak hanya dapat mengancam kinerja ekonomi, melainkan kenaikan inflasi tinggi dengan resesi itu disebut sebagai stagflasi," ungkap Sri Mulyani.

Kenaikan suku bunga di Amerika juga menyebabkan Capital outflow di berbagai negara terutama pada investasi jangka pendek seperti stock maupun bonds. Ia menjelaskan, Indonesia juga mengalami capital outflow terutama di dalam bonds hingga April 2022. Hal ini menimbulkan tekanan terhadap yield surat berharga.

Baca Juga: Menkeu Beri Peringatan, Indonesia Masih Perlu Waspadai Risiko Global yang Sedang Terjadi

Selain itu, Sri Mulyani juga mengingatkan mengenai perlunya mewaspadai kondisi perekonomian RRT yang saat ini sedang mengalami tekanan. Kenaikan jumlah kasus Covid-19 di RRT mengakibatkan terjadinya restriksi di negara tersebut sehingga berpengaruh juga terhadap perekonomian RRT dan dunia.

"Jadi resiko global kita adalah pertumbuhan yang harusnya tinggi justru melemah, inflasi yang harusnya rendah justru meningkat. Ini adalah kombinasi yang perlu diwaspadai, karena dampaknya akan sangat kompleks," ujarnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Martyasari Rizky
Editor: Ayu Almas

Bagikan Artikel: