Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peningkatan Literasi Keuangan Butuh Upaya Masif

Peningkatan Literasi Keuangan Butuh Upaya Masif Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan cukup besar dan dinilai perlu segera diatasi. Kesenjangan ini melemahkan posisi konsumen dalam memahami informasi yang memadai mengenai produk dan layanan jasa keuangan serta apa yang menjadi risiko maupun hak-hak mereka.

“Dibutuhkan upaya yang lebih terstruktur dan lebih masif dari semua pelaku industri jasa keuangan dan pemerintah untuk lebih mengarusutamakan literasi keuangan,” terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan.

Survei literasi keuangan yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2013 menunjukkan, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di angka 21,84%. Sementara inklusi keuangan berada di angka 59,7%.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) pada 2019 menunjukkan kemajuan di kedua bidang, tetapi belum banyak mempersempit kesenjangan di antara keduanya. Tingkat literasi keuangan mencapai 38,03% dan inklusi keuangan 76,19%.

Kesenjangan literasi keuangan juga terjadi antara wilayah pedesaan yang sebesar 34,53% dan perkotaan yang sebesar 41,41%. Jika dilihat berdasarkan sektor, penguasaan literasi keuangan tertinggi adalah pada sektor perbankan yang sebesar 73,88%.

Sedangkan yang terendah adalah tentang sektor pasar modal sebesar 1,55% dan lembaga keuangan mikro yang sebesar 0,72%.  Pingkan mengungkapkan dari penelitian CIPS berjudul “Menciptakan Konsumen yang Terinformasi: Melacak Program-Program Literasi Keuangan di Indonesia” menemukan beberapa permasalahan yang berkontribusi pada lebarnya kesenjangan literasi dan inklusi keuangan.

Pertama adalah fokus dari konten program literasi keuangan berbeda-beda di tiap negara dan kawasan. Di Indonesia, fokusnya adalah menangani masalah keterlilitan utang dan pinjaman.

Selain itu, sistem pelaporan kredit di Indonesia belum cukup kuat, dan sistem identitas nasional yang ada saat ini belum mampu mencegah pencurian identitas yang kian marak terjadi.

“Penelitian CIPS merekomendasikan, OJK dan industri keuangan sebagai satu kesatuan harus memperbaiki kualitas program-program literasi keuangan yang ada dari segi keragaman, konten, dan metode penyampaian dalam jangka panjang,"pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar

Bagikan Artikel: