”Tidak tersedianya pasokan pupuk, kekurangan minyak nabati di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kekurangan besar-besaran dalam jumlah TBS dan CPO. Sementara itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan kegagalan penyerbukan, OER menurun dan FFA meningkat. Ini semua merupakan tantangan bagi pekebun kecil dan produsen korporat,” bebernya.
Karena musim hujan, perkebunan menghadapi gulma yang ditumbuhi rumput liar, yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dan bahan kimia untuk menjaga Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia.
Situasi tetap terkendali. Selain itu, pohon kelapa sawit tumbuh lebih tinggi dari tahun ke tahun, yang akan membatasi produksi TBS. Pekebun perlu memanfaatkan harga CPO yang tinggi saat ini untuk mengumpulkan dana untuk sanitasi lokasi dan kegiatan penanaman kembali di masa depan.
Seanjutnya, Pemerintahan Bapak Jokowi pada 28 April 2022 memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah dan produk olahannya, yang mengejutkan komunitas global dan dengan cepat menimbulkan reaksi negatif di seluruh dunia.
“Malaysia, yang memasok 25% dari produksi global, tidak mampu mengisi celah yang tersisa dari larangan ekspor Indonesia; karena negara itu masih menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah akibat pembatasan pandemi. Rusia dan Ukraina menyumbang 80% dari pasar minyak bunga matahari global, yang sudah merupakan penurunan mendadak dalam pasokan minyak nabati global karena perang yang sedang berlangsung,” ungkapnya.
Menurut dia, larangan ekspor Indonesia adalah untuk mengurangi kenaikan harga pangan lokal dan untuk memadamkan kerusuhan lokal. Namun, strategi jangka pendek bisa membawa lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam skala yang lebih besar.
Sebagai permulaan, Indonesia dengan cepat memantapkan dirinya sebagai salah satu pilihan terbaik untuk investasi asing di kawasan Asia Tenggara dan pemindahan ibu kotanya dari Jakarta ke Penajam Paser dan Kutai Kartanegara, telah menarik lebih banyak investasi ke negara ini.
Pergantian tiba-tiba yang tibatiba untuk keluar dari pasokan global, dengan kebijakan flip-flop, dapat mengalihkan investor ke negara-negara dengan kebijakan yang lebih progresif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: