Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ada Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Anggota DPR Kasih Penjelasan: Jika Presidennya Tertawa, Tidak Akan Dipidana

Ada Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Anggota DPR Kasih Penjelasan: Jika Presidennya Tertawa, Tidak Akan Dipidana Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) belakangan ini menjadi perhatian masyarakat karena beberapa pasalnya yang dianggap memiliki kejanggalan. Apalagi, isunya masyarakat tidak dilibatkan dalam perumusan ini.

Beberapa pasal yang disorot dalam RKUHP adalah mengenai hukuman mati dan penghinaan kepada presiden. Terkait hal ini pun, Anggota DPR Kommisi III Asrul Sani memberikan penjelasannya.

Baca Juga: RKUHP Jalan Terus, Ucapan Refly Harun Menohok: Selamat Datang Era Kriminalisasi

Arsul menyebutkan, salah satu isu krusial RKUHP adalah pidana mati yang ditolak sebagian masyarakat dan 22 Duta Besar Negara Uni Eropa. Mereka menginginkan abolisi total terhadap pidana mati.

Tapi Komisi III juga menerima aspirasi dari masyarakat yang ingin mempertahankan pidana mati sebagai pidana pokok seperti dalam pasal 10 KUHP saat ini. "Maka sebagai jalan tengah politik hukum yang diletakan adalah kita tidak melakukan abolisi, tidak menghapus total pidana mati dari hukum pidana kita, tetapi kita juga tidak mempertahankan posisi pidana mati kita sebagai pidana pokok," kata Arsul dalam risalah Webinar LP3ES yang dikutip pada Ahad (10/7/2022).

Baca Juga: RKUHP: Serang Kehormatan, Harkat, dan Martabat Presiden atau Wapres di Muka Umum Terancam Penjara 3,6 Tahun

Para penolak hukuman mati beralasan Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi hak sipil dan politik. "Posisi moderatnya adalah pidana mati tidak kita hapus, tetapi posisinya kita geser dari pidana pokok ke pidana khusus yang harus dijatuhkan secara alternatif," lanjut Arsul.

Mengenai pasal penghinaan Presiden, Arsul melihatnya dari dua sisi pandang. Pandangan pertama disampaikan oleh para pakar Hukum Tata Negara dan masyarakat sipil bahwa untuk menjamin kehidupan demokrasi yang lebih baik, maka harus dihapuskan pasal itu. Apalagi sudah ada putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: