Sektor perbankan Indonesia mengalami peningkatan kinerja seiring dengan pemulihan ekonomi. Di bulan Juni pertumbuhan kredit mencapai 10,3% YoY dan terjadi menyeluruh di semua kategori yaitu kredit konsumsi, kredit modal kerja, dan kredit investasi.
Dari sisi segmen, pertumbuhan tertinggi terjadi di segmen UMKM yang tumbuh 17,4% YoY. Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mengalami peningkatan, naik 8,9% YoY. Kualitas aset terus mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi, dengan Non-Performing Loan (NPL) terjaga di level 3%.
Di tengah kenaikan suku bunga acuan bulan Agustus dan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) ke level 9% di bulan September ini likuiditas perbankan dinilai masih sangat baik, dengan Loan to Deposit (LDR) berada di level 84%.
“Secara umum, belum ada tekanan mendesak yang membuat sektor perbankan harus menaikkan suku bunga tabungan maupun pinjaman secara agresif,” tulis Erisa Nazrin Habsjah, Equity Analyst PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), dalam risetnya, Selasa (27/9/2022).
Baca Juga: Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Diprediksi Hambat Pertumbuhan Pasar Properti
Ia pun menuturkan bila potensi bank digital masih sangat baik karena penetrasi perbankan masih relatif jauh lebih rendah dibandingkan negara lain. Di Indonesia, masih ada kelompok besar masyarakat yang belum terlayani oleh sektor perbankan (underserved segment), sehingga keberadaan bank digital diharapkan meningkatkan inklusi masyarakat bertransaksi perbankan.
“Kunci keberhasilan bank digital terletak pada ekosistem yang akan dituju. Selama memiliki ekosistem yang jelas, bank digital dapat melayani pihak-pihak yang berada dalam ekosistem tersebut,” jelas Erisa.
Dalam kesempatan ini, Erisa menuturkan bila harga komoditas memiliki dampak pada kenaikan permintaan di sektor properti. Perbedaannya, di tahun 2020 – 2022 ini kenaikan permintaan properti lebih banyak terjadi di daerah-daerah penghasil komoditas seperti di Medan, Sumatera Utara. Namun, di daerah-daerah non penghasil komoditas, permintaan properti lebih didorong oleh peningkatan permintaan perumahan secara struktural.
“Oleh sebab itu, properti yang paling laku terjual adalah rumah dengan harga per unit di bawah Rp2 miliar,” ungkapnya.
Baca Juga: Faktor Eksternal, Inflasi Tinggi dan Perlambatan Bayangi Pemulihan Ekonomi
Sementara itu, berbicata soal kinerja perusahaan ritel, menurut Erisa, pembukaan kembali aktivitas ekonomi, normalisasi jam operasional mal dan pusat perbelanjaan memberi dampak positif pada penjualan sektor ritel. Belanja Lebaran juga turut mendorong peningkatan sektor ritel di kuartal dua di tahun ini. Namun kenaikan BBM di bulan September tentunya berdampak pada daya beli masyarakat, khususnya masyarakat segmen menengah ke bawah,
“Sehingga perusahaan ritel yang memiliki prospek lebih baik adalah perusahaan yang fokus pada segmen menengah atas. Juga Perusahaan penjual bahan-bahan kebutuhan pokok yang efisien dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi juga memiliki potensi kinerja yang lebih tinggi,” terangnya.
Di tengah penyesuaian harga BBM dan kenaikan harga komoditas, sektor home personal care memiliki tantangan yang cukup berat. Dari sisi konsumen, kondisi ini dapat menurunkan daya beli, dan membuat konsumen beralih pada produk dengan harga yang lebih murah. Sementara dari sisi produsen, kenaikan harga produk menjadi tidak terhindarkan karena kenaikan harga komoditas.
“Oleh karenanya tantangan bagi sektor ini mencari keseimbangan antara harga dan volume penjualan, karena peningkatan harga yang terlampau besar dapat memukul volume penjualan. Selain itu, efisiensi distribusi dan efektivitas promosi juga menjadi faktor yang sangat penting untuk menunjang perusahaan ke depannya” tutup Erisa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri