Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bukan Kerugian Negara, BLT Minyak Goreng Disebut Karena Kenaikan Harga

Bukan Kerugian Negara, BLT Minyak Goreng Disebut Karena Kenaikan Harga Kredit Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 6 triliun. Kebijakan itu, disebut-sebut ikut dihitung menjadi kerugian negara yang disebabkan oleh para eksportir CPO dan minyak goreng, lebih memilih melakukan ekspor, ketimbang menyalurkannya di dalam negeri. 

Tindakan para eksportir dianggap membuat minyak goreng yang beredar di pasar domestik menjadi langka dan harganya melonjak. Efeknya, untuk meredam kenaikan harga migor kala itu, pemerintah harus mengucurkan BLT dari koceknya sebagai subsidi langsung. 

Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kemensos Mira Riyanti Kurniasih mengakui, harga migor di pasar domestik yang tinggi kala itu, tak terlepas dari tingginya harga minyak sawit dunia di pasar internasional. Untuk meringankan beban masyarakat, sesuai arahan Presiden tanggal 1 April 2022, pemerintah pun memutuskan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang akan diberikan kepada 20,5 juta KPM, penerima bantuan pangan non tunai, dan penerima program keluarga harapan.

“Seperti itu. Sudah dimulai dari April (2022) kami realisasikan BLT untuk migor,” serunya, Rabu (19/10/2022).

Baca Juga: Program BLT Bukan Kerugian Keuangan Negara

Ia menjelaskan, anggaran untuk BLT sendiri, diambil dari pos anggaran bansos secara umum yang memang sudah dialokasikan dalam APBN sejak November 2021, jauh sebelum ada kenaikan harga dan kelangkaan migor. 

“Sebenarnya itu diambil dari anggaran kami. Kami kan punya angggaran bansos, sejak November 2021. Dianggarkan untuk program reguler. Kami ini, sebelum ada BLT migor, sesuai tugas dan fungsi kemensos memang punya program BPNT dan program keluarga Harapan. Seperti itu,” jelas Mira. 

Ia memastikan, tidak anggaran khusus yang secara dadakan diadakan untuk BLT migor. “Jadi saat itu kami gunakan anggaran yang ada dulu untuk menindaklanjuti arahan presiden,” serunya. 

Terkait dengan nilai BLT yang diberikan sebesar Rp300 ribu dalam 3 bulan, atau Rp100 ribu perbulan per penerima manfaat, Mira menjelaskan, BLT tersebut tidak khusus ditujukan hanya untuk membeli migor, tapi juga kebutuhan pokok yang lain karena terimbas inflasi pangan dari migor.

“Sebelumnya mereka sudah mendapatkan program BPNT (bantuan pangan non tunai), tetapi dirasakan kurang, maka itu ditambahkan. Terkait program tadi, istilahnya BLT Migor,” tuturnya. 

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan sendiri memutuskan untuk menambah jumlah penerima BLT minyak goreng menjadi 20,65 juta dari sebelumnya 20,5 juta penerima. Adapun penerima 20,65 juta ini berasal dari data termutakhir penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos pangan yang tercatat di Kementerian Sosial (Kemensos).

Selain dari yang terdaftar di Kemensos, BLT minyak goreng juga diberikan kepada Pedagang Kaki Lima Warung (PKLW) yang berjumlah 2,5 juta penerima. Sehingga total penerima BLT minyak goreng menjadi 23,25 juta orang.

Adapun anggaran yang disiapkan sebesar Rp 6,2 triliun untuk yang ada di bawah Kementerian Sosial dan Rp 750 miliar untuk penerima PKLW. Dengan demikian total anggarannya menjadi 6,95 triliun. Untuk penyaluran BLT minyak goreng kepada PKLW, pemerintah menugaskan TNI/Polri untuk melakukannya kepada seluruh daerah di Indonesia.

Menanggapi hal ini, Juniver Girsang, Penasehat Hukum Master Parulian Tumanggor, Komisaris Wilmar Nabati yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, menyebutkan, kesaksian dari Mira ini jelas menegaskan tak ada kerugian negara dalam perkara yang membelit kliennya. Dia menegaskan, sebaliknya kesaksian ini menegasikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Kesaksian ini jelas menegaskan, negara hadir bagi warganya yang membutuhkan bantuan, bagi fakir miskin juga tentunya. Yang juga kita cermati, bahwa kesaksian ini menegaskan tidak ada kerugian negara dalam perkara klien kami. Dan, tidak ada juga uang negara masuk ke pundi-pundi klien kami. Jelas ini menegasikan dakwaan JPU terhadap klien kami," ujar Juniver Girsang, usai persidangan. 

Juniver menambahkan, dalam kasus justru kliennya merugi akibat kebijakan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekaligus pemenuhan DMO. Nilai kerugian Wilmar Nabati dikalimnya sekitar Rp1,5 triliun. Kerugian ini didapat lantaran perusahaan dipaksa untuk menjual harga migor di bawah harga keekonomian, bahkan di bawah harga produksi. 

Baca Juga: Pidana Korupsi di PE Minyak Goreng Sulit Dibuktikan

"Dengan diterbitkannya kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) ini, kami mengalami kerugian kurang lebih dari Rp1,5 triliun. Jadi, malahan terbalik, dalam hitungan kami sudah sampaikan dalam eksepsi, hitungannya detail secara ekonomi dan kemudian aktual. Bukan direka-reka," imbuhnya.

Asal tahu saja, dalam kasus ini lima orang menjadi terdakwa dalam kasus ini yakni eks Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Indra Sari Wisnu Wardhana; tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley Ma; dan General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.

Perbuatan melawan hukum mereka itu terkait pemufakatan atas terbitnya perizinan PE CPO oleh Kemendag. Mereka didakwa memperkaya diri, orang lain, dan korporasi. Yakni, Grup Wilmar, Grup Musim Mas, dan Grup Permata Hijau.

Perbuatan mereka disebut telah merugikan keuangan negara dan perekonomian negara total Rp18 triliun. Terdiri dari keuangan negara yang dirugikan Rp6,04 triliun dan perekonomian negara sejumlah Rp12,31 triliun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: