Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kominfo Ajak Masyarakat Diskusi Pemberantasan Terorisme Menurut KUHP Baru

Kominfo Ajak Masyarakat Diskusi Pemberantasan Terorisme Menurut KUHP Baru Kredit Foto: Kominfo

Pada kesempatan yang sama, Ketua Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Datasemen Khusus 88 Anti Teror, Imam Subandi, mengatakan bahwa yang paling perlu dicermati setelah tiga tahun efektif KUHP Baru berlaku salah satunya ada penggantian tuduhan pasal atau sanggahan pasal.

“Mudah-mudahan terjadi kesamaan, makanya sosialisasi seperti ini yang digagas oleh Kemenkominfo bagus sekali, supaya nanti audiens terlibat di dalam criminal justice system. Karena nanti polisi kerja di depan, disampaikan kepada penuntut dan penuntut menyampaikan kepada hakim. Kalau semua punya perspektif dan interpretasi terhadap maksud Undang-Undang yang sama, akan sangat mudah,” jelasnya.

Ia mencontohkan dengan Undang-Undang  No. 5 Tahun 2018 yang memberikan keleluasaan bagi polisi untuk fokus pada scientific investigation model, agar prosesnya tidak menzalimi tetapi mendudukkan pada perkara yang semestinya. Karena menurutnya, yang dikriminalisasi bukan pangkat, jabatan, atau yang nampak dari luar, tetapi dari unsur perbuatannya.

Imam menyebutkan bahwa intinya, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 menjadi lebih efektif bagi penegakan hukum karena polisi khususnya Densus 88 tidak harus menunggu sampai perbuatan teror terjadi. 

“Terkesan menurut para pejuang HAM tidak adil karena belum berbuat sudah dikriminalisasi, padahal dampak sebenarnya without waiting until the casualty, jangan menunggu sampai terjadinya korban berdarah-darah, bom meledak, dan mati. Masyarakat yang mati, pelakunya bahkan yang mati, atau mungkin polisinya yang mati baru hukum bisa ditegakkan,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Hukum Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim, mengatakan bahwa Pasal 622 ayat 1 Huruf BB KUHP Baru, menyatakan Pasal 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) Dicabut dan Dinyatakan Tidak Berlaku. Hal ini berarti kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme sekarang mengacu ke Pasal 602 KUHP Baru.

Menurutnya, perihal pendanaan terorisme memang agak unik, karena yang menjadi bermasalah adalah penggunaan ataupun pemanfaatan dari dana tersebut. Ia mengatakan bahwa pendanaannya bisa dari aktivitas yang ilegal maupun aktivitas yang sah.

“Kalau di sisi uangnya memang tidak bermasalah, masalahnya karena tujuannya yang berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai kejahatan,” tuturnya.

Terkait dengan lingkup teritorialnya, Ia menjabarkan bahwa TPPT di dalam KUHP Baru hanya berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia, dan Tindak Pidana di bidang teknologi informasi.

“Nah ini yang nanti kita perlu regulasi yang berkaitan dengan pencegahan pemberantasan money laundering, pendanaan terorisme, dan ada juga pendanaan proliferasi, itu harus mengikuti standar internasional yang ada dan kita harus comply dengan standar tersebut,” jelasnya.

Selanjutnya, membahas mengenai diversi dan deradikalisasi, Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rahmat Sori Simbolon, mengungkapkan bahwa di tahun 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: