Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kritik Wacana Jalan Berbayar, Anthony Budiawan: Tertunda di Masa Anies Baswedan dan Dijadikan Aji Mumpung Pejabat Gubernur

Kritik Wacana Jalan Berbayar, Anthony Budiawan: Tertunda di Masa Anies Baswedan dan Dijadikan Aji Mumpung Pejabat Gubernur Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Selama beberapa bulan terakhir, wacana pengadaan Electronic Road Pricing (ERP) mulai mencuat ke permukaan dan ramai diperbincangkan oleh publik. Kebijakan ini tentunya menuai pro, kontra, dan berbagai komentar, tak terkecuali dari Managing Director Political Economy dan Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan.

"Proyek ERP sudah dilirik sejak lama untuk 'memalak' warga, tetapi tertunda ketika Anies Baswedan naik jadi gubernur? Sekarang aji mumpung, pejabat gubernur yang tidak ada mandat dari rakyat mau hidupkan kembali ERP lagi. Siapa investor dalang semua ini?" cuit Anthony Budiawan di linimasa Twitter-nya beberapa saat lalu.

Baca Juga: Fahri Terus Bahas Utang Rp50 Miliar Anies, Musni Umar: Gak Usah Cari-Cari Kesalahan

Menurutnya, ERP lebih “kejam” dari jalan tol bebas hambatan berbayar. Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif nontol. Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP.

Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta berencana menerapkan ERP dalam waktu dekat. Sebenarnya, wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. Apakah ini merupakan “proyek” yang tertunda?

"Kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, mungkin bisa diperluas lagi. Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5.000 sampai Rp19.000 setiap kali masuk kawasan. Mungkin lebih mahal dari tarif per km jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75.000. Luar biasa," bebernya.

Baca Juga: Dendam Pilgub DKI 2017, Jokowi Siap Pimpin Pertarungan Dua Poros di Pilpres 2024: Dia Lebih Percaya Diri Melawan Anies

Jam operasional ERP juga sangat panjang. Tidak tanggung-tanggung jam berlakunya dimulai sejak pukul 05:00 hingga pukul 22:00, setiap hari. Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05:00 pagi?

Menurut Pemda Jakarta, beber Anthony Budiawan, tujuan penerapan sistem ERP sebenarnya untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal, Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016 untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?

Baca Juga: Baru Dilantik, Sekda Joko Agus Setyono Ditantang Kuak Anggaran DKI Zaman Anies Baswedan

"Apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini? Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa?" tanya Anthony Budiawan.

Warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar penerapan sistem ERP.

Pertama, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini. Apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal.

Baca Juga: Nah, Berani Enggak Terima Tantangan Bedah Anggaran DKI Era Anies Baswedan?

Menurutnya, selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP. Hal itu disebabkan oleh dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk “memeras” warga.

Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga.

Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil? Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut.

Baca Juga: KPK Buka Suara Soal Kasus Bansos DKI: Kami Sampaikan...

Kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor.

Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar.

Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapura, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing US$72.794, US$51.204, US$61.029, dan US$46.510. Di Indonesia sendiri, pendapatan per kapita pada 2021 bahkan hanya tembus US$4.333.

Baca Juga: Mau Daftar Merek? Cek Dulu PDKI di Aplikasi Portal DJKI

Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas) sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. Selain itu, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk.

"Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda Jakarta dalam mengatasi kemacetan Jakarta dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP. Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi. Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar," jelasnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Yohanna Valerie Immanuella

Advertisement

Bagikan Artikel: