Menurutnya, dalam menciptakan rasa keadilan masyarakat maka hakim dan mengadili dan memutus suatu perkara tidak saja memperhatikan dasar peraturan perundang-undangan. Tetapi juga harus memperhatikan etika dan moral, dasar-dasar filosofi, dasar sosiologi maupun dari sisi historisnya sehingga akan diperoleh keadilan yang paripurna (total justice) yang sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.
Menurutnya, MA Memiliki kewenangan membatalkan Putusan Pengadilan bawahan karena sejumlah alasan. Yakni, Hakim tidak berwenang atau melampaui kewenangannya;
Hakim salah dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku; Lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang mengancam kelalaian tersebut dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Menurutnya, putusan yang baik adalah putusan hakim yang dapat menyelesaikan dan mengakhiri suatu perkara atau sengketa para pihak dan jangan sampai putusan tersebut justru menimbulkan atau melahirkan perkara baru.
Putusan yang baik tersebut harus dibangun dari konstruksi berpikir yang baik pula yang bersumber dari fakta-fakta dan pembuktian yang diperoleh dipersidangan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan, yurisprudensi, dokrin dan hukum yang hidup ditengah masyarakat.
Putusan yang baik tersebut juga harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat (social justice), rasa keadilan menurut undang-undang (legal justice) dan rasa keadilan berdasarkan moral dan etika (moral justice) sehingga dapat mewujudkan keadilan yang paripurna (total justice).
Haswandi juga menekankan, terhadap perkara–perkara yang Putusannya berdimensi suap secara yuridis tetap sah sepanjang Putusan perkara tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya suatu Putusan seperti mempunyai irah–irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dll.
Jika penyuapan yang diberikan pihak berperkara kepada Hakim terbukti melalui Putusan Perkara Pidana dan perkara tersebut telah berkekuatan hukum yang tetap, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan PK dengan alasan adanya kekeliruan yang nyata yang dilakukan oleh hakim kasasi (vide Pasal 67 huruf f UUMA) dan jika perkaranya adalah perkara PK maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hukum PK ke II dan jika tidak terdapat 2 (dua) Putusan yang saling bertentangan (vide SEMA No. 10 tahun 2009 dan SEMA No. 4 Tahun 2016) maka dapat dipakai dasar hukumnya Pasal 32 UUMA.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement