Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sri Mulyani Beberkan Tantangan Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara di RI

Sri Mulyani Beberkan Tantangan Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara di RI Kredit Foto: Instagram/Sri Mulyani Indrawati
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah berkomitmen untuk melakukan transisi energi, salah satunya melalui penghentian operasional atau pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan bahwa ada tantangan dari skema pembiayaan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang sudah diluncurkan pemerintah untuk memensiunkan PLTU batu bara. Salah satunya terkait pembiayaan dari dukungan sektor swasta.

Ani, sapaan akrabnya, mengatakan, sektor swasta memiliki kendala untuk bisa berpartisipasi karena berkaitan dengan taksonomi perpajakan. Hal ini yang harus segera diatasi pemerintah.

Baca Juga: Negara Dituding Bokek, Anak Buah Sri Mulyani Bantah Pakai Data dan Fakta

“Sektor swasta memiliki kendala untuk bisa berpartisipasi karena berkaitan dengan taxonomy perpajakan. Ini yang harus kita atasi,” tulis Ani dikutip dari posting-an akun Instagramnya, Minggu (25/6/2023).

Tantangan lainnya ialah terkait cost of borrowing (biaya pinjaman) yang terhitung masih tinggi. Selain itu, investasi dalam infrastruktur untuk mendistribusikan energi juga dinilai perlu menjadi perhatian.

“Saya secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Janet Yellen dan segenap timnya yang telah mendukung Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan penerapan ETM termasuk di bidang pasar modal,” jelasnya.

Hal ini diungkapkan Ani saat mengikuti rangkaian Paris Summit 2023, yaitu Private Capital Mobilization for Climate Investments di negara berkembang.

Dalam unggahan terpisah, Ani menyebut biaya untuk menangani perubahan iklim bagi negara berkembang tidaklah kecil. Menurut riset yang dikutipnya, nilai investasi yang dibutuhkan mencapai US$500 miliar-US$1 triliun sepanjang 2019-2025 dan meningkat menjadi US$2,4 triliun hingga 2030. 

Dengan biaya sebesar itu, Ani menilai perlu upaya lebih besar dan refromasi lembaga multilateral untuk mendukung negara berkembang mencapai target perubahan iklim. Dengan begitu, negara berkembang tidak harus menghadapi dilema antara menghabiskan dana untuk mengatasi kemiskinan atau membiayai perubahan iklim.

"Peran sektor swasta sangat penting dan diperlukan namun diperlukan upaya untuk menangani isu risiko dan instrumen katalis untuk mencapai hal tersebut," tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: