Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peneliti CIPS: Investasi dan Mekanisasi Pertanian Bantu Atasi Tantangan Pemenuhan Pangan Indonesia

Peneliti CIPS: Investasi dan Mekanisasi Pertanian Bantu Atasi Tantangan Pemenuhan Pangan Indonesia Kredit Foto: Antara/Siswowidodo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tantangan pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia perlu disikapi serius seiring dengan tren meningkatnya konsumsi. Investasi dan mekanisasi pada sektor pertanian adalah bagian dari langkah untuk mengatasi tantangan ini.

"Produksi pangan dalam negeri tidak mungkin mengikuti tren konsumsi yang meningkat. Perdagangan internasional perlu dimaksimalkan untuk menyediakan pasokan untuk memenuhi permintaan," jelas Head of Agriculture Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta.

Baca Juga: Peneliti CIPS: Indonesia Perlu Impor Jagung untuk Stabilkan Harga Ayam

Ia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi dan upaya penurunan kemiskinan tidak akan berdampak signifikan untuk mengatasi kerawanan pangan jika pangan tidak tersedia. Lebih jauh lagi, kurangnya pasokan pangan juga bisa dapat berdampak pada masalah gizi karena dan asupan kalori sekitar 26 juta orang berpenghasilan rendah, yang menyebabkan kerawanan pangan, malnutrisi, dan kemiskinan.

Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan berupa permintaan pangan yang diproyeksikan tidak dapat dipenuhi oleh produksi pangan dalam negeri. Dari tahun 2018 hingga 2021, permintaan beras, jagung, tepung terigu, dan kedelai nasional secara bertahap meningkat di Indonesia, dengan perkiraan pertumbuhan rata-rata tahunan hampir 300.000 ton beras, 16.000 ton jagung, 26.000 ton tepung terigu, dan sekitar 144 ton kedelai.

Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) terbaru yang berjudul Future Food Demand in Poor Indonesian District atau "Proyeksi Kebutuhan Pangan di Daerah Miskin Indonesia" memproyeksikan permintaan pangan hingga tahun 2045 di 20 kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Di masa depan, permintaan pangan di wilayah termiskin tersebut diperkirakan masih berada di bawah standar asupan kalori harian untuk sumber karbohidrat, seperti beras, jagung, dan tepung gandum.

Hal ini terlepas dari jumlah permintaan beras, jagung, dan tepung terigu di 20 kabupaten tersebut yang diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sebesar 1,20% (beras), 1,27% (jagung), dan 6,24% (tepung terigu).

Jika pasokan pangan di kabupaten-kabupaten tersebut tidak terpenuhi, maka Visi Indonesia 2045 untuk menciptakan sumber daya manusia berkualitas melalui pola konsumsi yang sehat akan sulit dicapai, terutama di wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Aditya menambahkan, proyeksi ini menunjukkan adanya dampak yang serius jika Indonesia gagal memastikan ketersediaan bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, dan tepung terigu di daerah termiskin.

Pendekatan holistik harus diambil dengan empat perubahan kebijakan. Pertama, permintaan pangan yang diproyeksikan meningkat di masa depan dapat dipenuhi melalui peningkatan produktivitas secara signifikan. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan adopsi teknologi pertanian yang lebih merata.

Peningkatan akses terhadap teknologi pertanian salah satunya dapat dicapai melalui iklim kebijakan yang lebih ramah terhadap penanaman modal di bidang pertanian dan dengan mengurangi dominasi sektor publik (program pemerintah maupun BUMN/BUMD) di bidang pertanian yang mengurangi ketertarikan swasta.

Bantuan peralatan, mesin, maupun inovasi lain di bidang pertanian, seperti varietas unggul baru sudah banyak disediakan oleh pemerintah. Hanya saja, sasaran serta aspek keberlanjutan dari program-program ini masih perlu ditingkatkan.

Di sisi lain, sudah banyak program serupa dari sektor swasta. Pemerintah perlu mengevaluasi program-programnya untuk menghindari duplikasi dan meningkatkan kesinambungan dengan inisiatif swasta dan masyarakat.

Kemudian, peran perdagangan internasional dalam mencapai ketahanan pangan perlu dimaksimalkan.

Baca Juga: Demi Data yang Akurat, Sensus Pertanian Terus Lakukan Inovasi

"Penerapan hambatan-hambatan nontarif seperti kuota dan rekomendasi impor perlu dievaluasi untuk melihat dampaknya terhadap ketahanan pangan. Hambatan yang meningkatkan biaya dan menghambat akses terhadap pangan bergizi dan seimbang bagi konsumen berpenghasilan rendah perlu diminimalisir," tambahnya.

Terakhir, pemerintah harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk melaksanakan reformasi ini. Pangan dan pertanian adalah sektor yang rumit dan pendekatan holistik untuk perbaikan membutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Advertisement

Bagikan Artikel: