Risiko Redenominasi
Manfaat-manfaat yang dihasilkan dari kebijakan redenominasi tersebut diiringi oleh risiko-risiko yang mungkin akan terjadi. Seperti misalnya, kebijakan redenominasi akan menghabiskan banyak biaya untuk mencetak uang desain baru dan biaya sosialisasi kepada masyarakat.
Selain itu, redenominasi dapat menyebabkan inflasi sementara akibat penyesuaian harga barang dan jasa. Hal ini terjadi karena produsen dan pedagang akan memanfaatkan momen redenominasi untuk menaikkan harga barang dan jasa mereka.
Kemudian, hal tersebut akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, jika terjadi kenaikan harga secara berlebihan setelah redenominasi, daya beli masyarakat dapat menurun. Hal ini dapat memengaruhi tingkat konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tahapan Redenominasi oleh BI
Sebagai otoritas moneter, BI dikabarkan telah memiliki kajian tentang redenominasi sejak tahun 2010. Dalam kajian itu, disebutkan ada lima tahapan terkait pelaksanaan redenominasi rupiah. Tahap pertama, yaitu pada 2010, BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara. Saat itu, BI melihat negara mana saja yang berhasil menerapkan kebijakan redenominasi dan negara mana saja yang gagal menerapkan kebijakan tersebut.
Tahap kedua, tepatnya pada 2011-2012 merupakan masa sosialisasi. Tahapan inilah yang melatarbelakangi pada tahun 2013 lalu mulai muncul wacana terkait redenominasi rupiah.
Tahap ketiga (2013-2015) seharusnya merupakan masa transisi ketika ada dua nominal mata uang. Kemudian, pada tahap keempat, yakni di tahun 2016-2018, seharusnya merupakan masa penarikan uang lama. BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.
Terakhir, pada tahun 2019-2020, uang baru yang telah diredenominasi akan diedarkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.
Sudah Ada Kajian, Kok Maju Mundur Terus?
Meskipun kajian terkait redenominasi rupiah tersebut sudah dibuat sejak puluhan tahun lalu, namun hingga sekarang belum sempat terlaksana. Perry mengungkapkan kondisi ekonomi Indonesia belum siap untuk melaksanakan kebijakan redenominasi tersebut. Ia mengatakan bahwa ekonomi Indonesia masih terkena rambatan dari perlambatan ekonomi global.
"Sekarang masih spill over rambatan dari global masih berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan kita. Juga kan (perekonomian domestik) bagus stabil, tapi dari global kan masih ada (risiko)," bebernya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menjelaskan bahwa untuk menerapkan kebijakan redenominasi diperlukan dukungan dari sistem politik dan juga hukum. Tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh BI.
“Memang untuk melakukannya sangat memerlukan keputusan politik. Ada payung hukumnya. Bank Indonesia tidak bisa melakukannya sendiri,” tuturnya dikutip dari kanal YouTube KompasTV Pontianak, Selasa (29/8/2023).
Lantas, Kapan Waktu yang Tepat untuk Redenominasi?
Perry melanjutkan, terdapat tiga faktor yang memengaruhi keputusan kapan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi.
“Tentu saja keputusan mengenai timing yang tepat mengenai redenominasi ada tiga faktor. Satu, kondisi makronya itu memang bagus. Yang kedua, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangannya stabil. Dan yang ketiga, kondisi sosial politiknya juga kondusif, mendukung, positif,” bebernya.
Ia menegaskan, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi. Dengan demikian, Perry meminta agar masyarakat bersabar. Pasalnya, redenominasi adalah kebijakan yang membutuhkan perhatian besar dan pemerintah adalah pihak yang akan memutuskan.
"Jadi, sabar kalau di pemerintah yang lebih tahu untuk di dalam negeri," tegasnya.
Baca Juga: Ketidakpastian Global Meningkat, BI Pastikan Nilai Rupiah Tetap Terjaga
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement