Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kian Sepi Pengunjung, Lika-liku Keluhan Pedagang Pasar Tanah Abang Soal e-Commerce

Kian Sepi Pengunjung, Lika-liku Keluhan Pedagang Pasar Tanah Abang Soal e-Commerce Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kompetisi dagang yang yang terjadi di platform e-commerce memberikan dampak yang sangat besar terhadap para penjual konvensional. Kemiringan harga barang di e-commerce membuat pasar tradisional seolah tidak menarik lagi untuk dikunjungi. 

Bahkan, Pasar Tanah Abang, yang merupakan salah satu pusat dagang tekstil terbesar di Asia Tenggara, dikabarkan sepi pengunjung. Padahal, dahulu pasar ini dikenal sebagai pasar yang dimana pengunjungnya selalu berdesak-desakan. 

Baca Juga: Harga Beras Mulai Meroket, Pemprov Jabar Bakal Gencar Gulirkan Operasi Pasar

Diketahui bahwa, pusat grosir yang terdiri atas 4 blok tersebut, sudah tidak seramai dahulu. Sorak-sorak dari pengunjung maupun pembeli sudah jarang terdengar. Bahkan, pada  lobby utama Blok B, jumlah pengunjungnya dapat dihitung dengan jari. 

Sepinya pengunjung di pasar tersebut lantas membuat omzet para pedagang turun drastis. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang akhirnya terpaksa gulung tikar akibat beban operasional yang tak terbayarkan lantaran pemasukkan yang diterima nyaris nol. 

Beberapa menilai bahwa menurunnya jumlah pengunjung di pasar tradisional tersebut tak lain dan tak bukan adalah karena hadirnya pandemi covid-19 yang menyebabkan peralihan kebiasaan belanja dari offline ke online. 

Pandemi Covid-19, Dorong Tumbuhnya e-Commerce dan Singkirkan Pasar Tradisional 

Pandemi COVID-19, yang pertama kali muncul pada awal tahun 2020, telah mengubah tatanan kehidupan secara drastis. Selain berdampak pada kesehatan global, pandemi ini juga telah mengubah cara kami berbelanja dan berinteraksi sosial. Salah satu sektor yang terkena dampak besar dari pandemi adalah pasar offline atau pasar tradisional. 

Pasar offline seperti pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko-toko fisik mengalami penurunan signifikan dalam jumlah pengunjung sejak pandemi COVID-19 melanda. Pembatasan sosial, lockdown, dan ketidakpastian kesehatan membuat banyak orang memilih untuk berbelanja secara online atau mengurangi kunjungan ke tempat-tempat fisik. Hal ini secara langsung berdampak pada pendapatan pedagang dan bisnis di pasar offline.

Perilaku berbelanja secara online tersebut pun berlanjut hingga masa pasca pandemi. Masyarakat menjadi lebih terbiasa untuk berbelanja secara online, karena dinilai lebih efektif dan efisien. Ditambah lagi, harga barang yang relatif murah, hadirnya diskon-diskon dan juga promo gratis ongkir menjadikan belanja melalui e-commerce lebih menarik dibandingkan berbelanja di pasar tradisional.

Berdasarkan laporan yang berjudul “Navigating Indonesia’s E-Commerce: Omnichannel as the Future of Retail” yang diterbitkan oleh perusahaan e-commerce enabler, SIRCLO, dikatakan bahwa 74,5 persen konsumen lebih banyak berbelanja online daripada berbelanja offline.

Selanjutnya, laporan mencatat bahwa dampak pandemi telah mengakibatkan sekitar 17,5 persen dari konsumen yang sebelumnya berbelanja secara offline mulai mencoba berbelanja secara online. Beberapa saluran penjualan yang digunakan oleh konsumen untuk berbelanja secara online, termasuk di antaranya adalah marketplace, media sosial, dan situs web.

Tidak hanya itu, laporan tersebut juga menyebut bahwa di awal tahun 2021, terdapat peningkatan signifikan dari 11 persen menjadi 25,5 persen dalam jumlah konsumen yang memilih untuk berbelanja secara eksklusif secara online. Menariknya, sebanyak 74,5 persen dari konsumen yang tetap mempertahankan kebiasaan berbelanja secara offline dan online selama pandemi lebih banyak melakukan pembelian mereka secara online.. 

Peningkatan jumlah peralihan dari belanja offline ke online pun membuat omzet pedagang offline rontok. Sebut saja Agusfiati, salah satu pedagang di Pasar Tanah Abang tersebut mengungkap bahwa omzet penjualannya mengalami penurunan yang sangat drastis akibat adanya persaingan dari e-commerce. 

Baca Juga: Jelang Pemilu 2024, Akankah Investor Asing Tunda Investasi di Pasar Saham Indonesia?

“(Dulu) kalau Sabtu-Minggu, ada 10 juta. Kalau hari-hari biasa 3 juta. Sekarang boro-boro dapat segitu, kadang nggak laku sama sekali. Gara-gara nggak ada pengunjung. Kadang laris 100 ribu, sudah habis buat makan,” ujarnya dikutip dari kanal YouTube tvOneNews, Senin (18/9/2023). 

Sudah Cari Peruntungan di e-Commerce, Tetap Tak Laku

Kemunculan e-commerce dan peralihan kebiasaan belanja konsumen dari offline ke online pun membuat para pedagang offline turut mencoba peruntungan baru dengan berjualan secara online juga. Para pedagang offline berharap, dengan begitu, pemasukkan yang mereka terima akan turut bertambah. 

Namun, sayangnya, harapan tak seindah kenyataannya. Meskipun sudah mencoba berjualan di e-commerce, ternyata omzet mereka tidak bertambah banyak. Bahkan, ada beberapa penjual yang sama sekali tidak mendapatkan benefit dari berjualan secara online. 

Baca Juga: INA-LAC 2023, Pemerintah Gandeng Kadin Genjot Ekspor ke Pasar Amerika Latin dan Karibia

Agusfiati pun membagikan pengalamannya yang sudah berusaha mencoba untuk berjualan secara online, tetapi hasil yang ia terima nihil. Sehingga, ia merasa percuma sudah berjualan online, tidak berpengaruh apa-apa. 

“Percuma juga online, saya juga sepi juga onlinenya,” ujarnya. 

Ia lalu membeberkan bahwa alasan dari sepinya pelanggan di toko onlinenya lantaran adanya persaingan harga di platform e-commerce. Menurutnya, harga-harga barang di e-commerce terlampau murah, sehingga harga barang di tokonya tidak dapat bersaing. 

“Karena banyak persaingan di online itu. Kadang barangnya sama, dia harganya murah, kita agak tinggi sedikit,  orang pergi ke yang murah. Kita nggak bisa nyamain harga, karena kita juga ambil dari orang,” imbuhnya. 

Terlebih lagi, saat ini, publik figure dan influencer-influencer sosial media juga turut berjualan di e-commerce. Hal tersebut kemudian yang membuat para konsumen justru akan berbelanja di toko-toko online mereka. Akibatnya, toko-toko online dari penjual biasa pun menjadi sepi pengunjung. 

Pemerintah Harus Gerak Cepat Atasi Masalah Ini!

Pemerintah diharapkan untuk segera bertindak agar masalah tersebut dapat terselesaikan. Kebijakan yang tepat harus segera dibuat agar pasar tradisional dan pedagang-pedagang kecil bisa tetap bertahan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman berharap agar pemerintah selaku regulator agar dapat menetapkan kebijakan yang tepat agar tidak menekan pedagang pasar. 

"Akan ada dampak yang luar biasa bagi pedagang pasar kalau kebijakannya tidak berpihak pada pedagang. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah untuk memperhatikan pedagang pasar dengan mengkaji ulang kebijakan yang akan diterapkan,” tuturnya. 

Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki membenarkan bahwa belum adanya strategi nasional untuk transformasi digital dan belum memiliki badan yang mengatur soal transformasi digital e-commerce yang menjadi pemicu sepinya pengunjung pasar tradisional.

“Maka para menteri nggak ada acuan. Padahal transformasi digital melibatkan banyak aspek,” ujarnya, dikutip dari Tempo.co, Senin (18/9/2023). 

Ia menambahkan, hingga kini tidak ada yang mewujudkan teknologi diaplikasikan dalam sistem produksi nasional, di industri manufaktur, agrikultur, agromaritim, kesehatan, dan lain-lain. Sehingga transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, sebaliknya hanya membunuh ekonomi lama. 

Baca Juga: BEI Berkomitmen untuk Dukung Penguatan Ekosistem Pasar Modal Dari Segala Lini

“Kue ekonominya nggak bertambah, tapi faktor penbaginya makin banyak. Pasar offline seperti Tanah Abang mati. Produk UMKM di online nggak bisa bersaing dengan produk impor,” tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: