Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tanah Adat Diserobot Pengusaha Jakarta, Robert: Warga Papua Masih Sulit Mencari Keadilan

Tanah Adat Diserobot Pengusaha Jakarta, Robert: Warga Papua Masih Sulit Mencari Keadilan Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi X DPR Robert J. Kardinal sesalkan masih sulitnya masyarakat Papua untuk mencari keadilan atas tanahnya. Walhasil, tak sedikit warga Papua, terpaksa harus ke Jakarta hanya untuk menjemput keadilan.

"Saya sebagai anggota DPR dari Tanah Papua, masih melihat betapa sulitnya masyarakat adat yang ada di Boven Digoel dan Kabupaten Sorong. Mereka bersusah payah sampai ke Jakarta hanya untuk mencari keadilan. Berapa ribu kilometer yang harus mereka tempuh untuk menjemput keadilan," kata Robert di Jakarta, kemarin.

Sikap Robert itu menyikapi aksi demonstrasi puluhan masyarakat adat Papua, suku Awyu di Boven Digoel dan suku Moi di Kab. Sorong, di gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, pekan lalu. Lewat aksi damai di depan kantor para wakil tuhan ini, mereka berharap MA menjatuhkan putusan hukum yang dapat melindungi hutan adat mereka.

Baca Juga: Ekonomi Syariah Bisa Menjadi Jalan Kemakmuran Papua Barat Daya

Sebagai latar, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi sama-sama tengah terlibat gugatan lantaran tanah adat mereka diserobot sejumlah perusahaan sawit asal Jakarta. Gugatan kedua suku itu kini telah sampai tahap kasasi di MA. 

Khusus Suku Awyu, mereka menggugat kasasi tiga perusahaan sawit yang beroperasi di Boven Digoel. Yakni, PT Indo Asiana Lestari (IAL), terkait izin kelayakan lingkungan hidup seluas 36.094 hektare yang dikeluarkan pemerintah. Kemudian PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya. 

Sementara Suku Moi, mengajukan gugatan kepada PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) atas 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS, sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Sorong. Namun pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Masalah hutan adat tersebut kini masuk di PTUN Jakarta.

Robert menilai, banyak sengketa hukum antara masyarakat adat di Papua dan pelaku usaha di perkebunan lantaran sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat. Padahal, seluruh tanah di Papua itu, ada pemiliknya, yang notabene merupakan masyarakat adat disana. Hak masyarakat adat di Papua ini, jelas tidak hanya dilindungi oleh aturan undang-undang yang berlaku di Indonesia, tapi juga oleh Hukum Internasional.

Baca Juga: Tekan Impor, Wapres Ingin Papua Selatan Jadi Pusat Industri Gula

"Bagaimana seorang dari Jakarta, mungkin pemiliknya nggak pernah tinggal di Jakarta, mungkin di Singapura, Hongkong, atau di mana, mengklaim ribuan hektare tanah adat masyarakat yang selama ini hidupnya sengsara di pinggir hutan itu," tegasnya.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah untuk segera mengambil sikap atas munculnya fenomena sengketa lahan antara masyarakat adat Papua dengan pelaku usaha perkebunan. Apalagi masyarakat adat di Papua, sama sekali tidak mengetahui jika hutan adat mereka akan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit.

"Jadi jangan hanya melihat substansi hukumnya, tapi juga lihat sosial dan politiknya dan bagaimana penghargaan kepada masyarakat adat di Papua yang ada. Mereka turun-temurun tinggal disitu, namun tiba-tiba, hutan mereka puluhan ribu hektare dibongkar begitu saja tanpa hak yang jelas," wantinya.

Untuk itu, politisi Golkar daerah pemilihan Papua Barat Daya ini berharap, sengketa lahan di Papua dapat jadi pelajaran untuk ke depan agar pemerintah hendaknya bertindak sebagai fasilitator. Menurutnya, pemerintah bisa bertindak Pejabat Catatan Sipil, yang berdiri di tengah-tengah antara investor dan masyarakat adat. 

"Biarlah pemilik tanah dan investor ini berunding sendiri. Pemerintah cukup mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Bila perlu menjaga supaya kepentingan-kepentingan masyarakat adat ini bisa terpenuhi. Jangan investor ini cuma datang ke pemerintah, terus tidak melihat ke bawah, tiba-tiba izinnya keluar. Amdalnya keluar. Padahal Amdal itu kan juga harus melibatkan masyarakat yang ada di situ," bilangnya. 

Robert menilai, pemerintah sebaiknya mengubah cara pandang terhadap pengelolaan sumber daya alam di Papua. Sehingga, tidak sekedar melayani pengusaha, tapi juga membela kepentingan masyarakat adat. Untuk itu, dia mendesak negara untuk ikut agar semua izin hak guna usaha yang ada tanpa melibatkan masyarakat adat itu dibatalkan seluruhnya.

"Oke-lah kalau pelaku usaha mau kerja di Papua. Tapi Papua ini kan ada yang punya tanah, ya duduk bersama, bicarakan. Apakah penyertaan modal tanahnya itu dengan investor, bagi hasil atau bagaimana, tapi diselesaikan oleh mereka berdua (pelaku usaha dan masyarakat adat). Pemerintah cukup mendengar dan mengesahkan aturan-aturan, izin-izinnya saja," pesannya. 

Baca Juga: Diterima Masyarakat Global, Wapres Yakini Ekonomi Syariah Jadi Pilar Baru Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat Daya

Lebih lanjut, Robert mengatakan telah menghimbau kepada para koleganya di Kaukus Parlemen Papua, yakni para anggota DPR dan DPD Papua-Papua Barat 2019-2024, agar memberikan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat Papua menempuh keadilan di Jakarta. "Saya sudah mengimbau, mengajak teman-teman dari DPR-DPD Papua, bagaimana kita beri petisi tandatangan untuk mendukung perjuangan masyarakat adat ini dikabulkan oleh MA," tambahnya. 

Sementara anggota DPRD Provinsi Papua, John NR Gobai mengatakan, di beberapa daerah di Papua memang terdapat ribuan hektare sawit yang ditanam oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin oleh pemerintah. Sayangnya, keberadaan perusahaan sawit ini malah memicu konflik dengan masyarakat setempat. "Ada yang mendukung, ada juga yang meminta perusahaan ditutup," katanya.

Menurutnya, pemicu konflik perusahaan sawit dan masyarakat lantaran penerimaan resmi dari sawit yang selama ini disetor ke pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, jumlahnya masih sangat kecil. Tidak sebanding dengan jumlah sawit dan minyak sawit yang keluar dari pohon sawit ditanam di tanah Papua. "Mungkin kecil karena masuk ke kantong pribadi oknum pejabat," ujarnya.

Untuk meredam konflik di Papua ini, menurutnya, pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan izin untuk penambahan kebun-kebun sawit. Sebab nyatanya, kehadiran sawit telah merusak sumber kehidupan masyarakat. Sawit juga telah merusak sumber hidup, sumber tanaman obat dari masyarakat. Yang lebih parah, kehadiran sawit malah membuat banyak daerah pinggiran banjir.

"Yang penting sekarang dilakukan adalah bagaimana kebun-kebun yang telah ada itu, haruslah dipikirkan untuk dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat pemilik tanah dan daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH),” usulnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Belinda Safitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: