Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Prabowo Didesak Tuntaskan 'Agenda Oligarki' dalam Penerapan Skema Power Wheeling di RUU EBET

Prabowo Didesak Tuntaskan 'Agenda Oligarki' dalam Penerapan Skema Power Wheeling di RUU EBET Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menuntaskan sejumlah agenda oligarki yang diselundupkan dalam berbagai kebijakan pemerintah salah satunya adalah soal Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET).

Di dalam RUU terdapat kebijakan kerja sama lewat skema Power Wheeling (PW) di mana kebijakan ini dinilai sebagai pintu masuk buat para oligarki untuk membisniskan energi kepada masyarakat Indonesia.

Skema Power Wheeling adalah pemanfaatan bersama jaringan transmisi PLN. Artinya pengembang  listrik swasta dapat menggunakan jaringan tersebut untuk mendistribusikan tenaga listrik ke masyarakat.

Menurut Marwan, skema ini mesti dibatalkan secepatnya sebab targetnya RUU EBET segera disahkan bulan depan atau sebulan sebelum Presiden Joko Widodo purnatugas. Marwan meminta Prabowo supaya langsung membatalkan kebijakan ini begitu dirinya dilantik dan resmi menjadi kepala daerah. 

“Sebagai presiden mendatang, kita berharap Prabowo mau dan mampu mengakhiri agenda oligarki yang merugikan ini. Khusus tentang skema PW,” kata Marwan dalam sebuah diskusi di Kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2024).

Marwan punya segudang alasan menentang keras skema Power Wheeling dalam RUU EBET, salah satu hal yang mengganjal di hatinya soal pelanggaran konstitusi. Menurutnya skema PW dalam RUU EBET inkonstitusional, skema itu menabrak berbagai peraturan.

Baca Juga: Menyusup di RUU EBET, IRESS Nilai Skema Power Wheeling Tidak Relevan

“Alasan pertama dan utama yang paling mendasar mengapa skema PW harus ditolak adalah karena bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara,” ujarnya.

Alasan kedua yang bikin Marwan ngotot menolak skema ini adalah Putusan MK No.36/2012 yang telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.

“Alasan ketiga adalah  Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema PW juga inkonstitusional, dan harus ditolak,” tuturnya.

“Listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan,” ujarnya.

Marwan melanjutkan skema PW dalam RUU EBET bakal berimbas ke berbagai hal. Salah satunya adalah kerugian sosial.

“Secara sosial, melalui kebijakan liberal ini, negara justru berlaku tidak adil dan bekerja memihak swasta. Yakni memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmati keuntungan besar, namun pada saat yang sama menghisap rakyat untuk membayar energi listrik lebih mahal,” ucapnya.

Marwan mengatakan, skema PW memberi kesempatan swasta memangsa para pelanggan premium PLN yang umumnya butuh daya tinggi dan membayar tagihan listrik besar. Hal ini akan merugikan dan mengurangi pendapatan PLN, sehingga kemampuan cross-subsidy kepada rakyat miskin dan tertinggal berkurang, tarif listrik naik dan beban subsidi energi APBN meningkat. 

“Pemaksaan kebijakan skema PW diduga sarat moral hazard. Tindakan moral hazard ini dapat pula dilanjutkan dengan pembangunan pembangkit listrik EBET milik swasta/IPP tanpa peduli kondisi over supply listrik, atau menyuntik mati PLTU-PLTU yang sebenarnya masih layak operasi dan layak ekonomi. Maka, beban biaya operasi PLN akan naik signifikan, dan berujung pada naiknya tarif listrik rakyat dan beban subsidi listrik APBN meningkat,” tuturnya.

Baca Juga: Menteri Bahlil Diyakini Bakal Utamakan Keterjangkauan Tarif Listrik Ketimbang Paksakan Skema Power Wheeling

Di tempat yang sama. Dosen program S2 ET, Universitas Darma Persada sekaligus eks Dirut GeoDipa Energy Riki Ibrahim juga dengan tegas menyampaikan penolakan pasal Power Wheeling dalam RUU EBET/RUU ETEB. 

Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi penolakan tersebut, salah satunya adalah tarif listrik yang bakal membengkak berkali-kali lipat. 

“Disparitas harga listrik yang lebih mahal dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah, akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara,” ujarnya. 

Riki melanjutkan skema PW sebetulnya tak membawa keuntungan apa-apa bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) justru sebaliknya skema ini bikin ruang gerak PLN menjual energi listrik ke masyarakat menyempit. Hal ini pula yang menjadi kesempatan pihak swasta untuk mematok harga setinggi langit.

“Ini akan menghilangkan kesempatan pihak PLN menjual listriknya kepada pihak pembeli sebagai konsumen,” tuntasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: