
Hal ketiga yang ditekankan oleh Kuik adalah arti penting dari kebijakan netralitas dan menjaga jarak yang sama yang telah menjadi dasar bagi politik luar negeri Malaysia sejak tahun 1970-an, yang memiliki prinsip yang sama dengan politik ‘bebas dan aktif’ Indonesia.
Namun menurutnya, kebijakan ‘menjaga jarak yang sama’ bukan berarti memiliki kejauhan atau kedekatan yang sama dengan kekuatan-kekuatan yang sedang saling berkompetisi. Namun ini berarti menjaga posisi netral sambil mengupayakan kemitraan inklusif namun selektif dengan semua kekuatan dalam berbagai domain (termasuk pertahanan, diplomatik, dan pembangunan).
Kuik menyimpulkan bahwa seiring dengan makin meningkatnya kompetisi antar negara-negara kuat, dan makin dalamnya ketidakpastian, mayoritas negara-negara menengah yang berada di tengah negara superpower yang saling bersaing berupaya untuk mempertahankan sikap non-blok mereka melalui strategi keberpihakan yang bersifat beragam (multi-alignment).
Baca Juga: Indonesia dan Malaysia Siap Kolaborasi untuk Dongkrak Industri Sawit
Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka bila Indonesia, Malaysia, dan Thailand (atau secara potensi Vietnam) bergabung dengan BRICS, ini bukan berarti bahwa negara-negara ASEAN cenderung makin condong kepada China.
Namun, mirip dengan yang dilakukan oleh India, menjadi bagian dari BRICS/BRICS+ bukan merupakan sebuah tindakan memilih blok kekuatan alternatif, tetapi merupakan upaya menggali peluang kerja sama tambahan, mengingat masing-masing negara-negara di atas tetap memperkuat arsitektur ASEAN-Plus dan bahkan mempertahankan partisipasi dalam berbagai institusi baik yang digagas oleh negara-negara Barat maupun institusi-institusi lainnya.
Baca Juga: Potensi Investasi Rp15 Triliun, PTPN III Jalin Kerja Sama Strategis dengan Perusahaan China
Sementara itu, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam yang juga merupakan Doktor Ilmu Politik berpandangan bahwa China bukan hanya menghadirkan banyak kesempatan, tetapi juga tantangan, termasuk tekanan dan ancaman.
Oleh karenanya, Umam menjuluki hubungan Indonesia dengan China sebagai pedang bermata dua. “China menerapkan apa yang dinamakan sebagai strategi ofensif yang mempesona (charming offensive strategy), tetapi dalam waktu yang tak terduga, China dapat mengubahnya menjadi strategi ofensif yang menghidupkan lonceng tanda bahaya (alarming offensive strategy),” tutur Umam.
Oleh sebab itu, ia mengimbau agar Indonesia menavigasi hubungannya dengan China secara hati-hati. Secara khusus, Umam mengggarisbawahi pentingnya kehati-hatian itu diterapkan dalam isu terkait ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, di mana China seringkali melakukan manuver.
Umam juga menyoroti pentingnya kehadiran ASEAN sebagai sebuah kesatuan untuk menghadapi kekuatan-kekuatan besar, khususnya dalam konteks persaingan antara China dan Amerika Serikat (AS). Sayangnya, menurut Umam, kesatuan ASEAN seringkali menghadapi ujian, khususnya karena ada negara-negara ASEAN yang secara ekonomi sangat bergantung pada China.
Sementara itu pimpinan Bait Al. Amanah, Fikry A. Rahman menyinggung bahwa dalam berhubungan dengan China, baik Indonesia dan Malaysia perlu tetap mengingat bahwa “Tak ada makan siang yang gratis.”
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement