Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

APPRIR Desak Pemerintah Ubah Tata Niaga Rotan

APPRIR Desak Pemerintah Ubah Tata Niaga Rotan Kredit Foto: Antara/Irwansyah Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia merupakan negara penghasil rotan mentah terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 85%. Namun, meskipun produksi rotan melimpah, Indonesia belum menjadi pemain utama dalam perdagangan rotan internasional. Salah satu penyebabnya adalah permasalahan dalam tata niaga rotan yang belum terselesaikan.

Saat ini, industri dalam negeri hanya mampu menyerap sekitar 20% dari produksi rotan setengah jadi. Sebagai contoh, potensi produksi rotan di Pulau Kalimantan mencapai belasan ribu ton per bulan, sedangkan serapan oleh industri mebel dan kerajinan rotan di Pulau Jawa hanya beberapa ratus ton per bulan. Kelebihan stok yang tidak terserap ini menyebabkan frustrasi bagi petani dan pengepul rotan.

Permasalahan ini diperparah dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 35 Tahun 2011 yang melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Akibatnya, banyak potensi produksi rotan, khususnya di Kalimantan, menjadi mubazir karena pasar dalam negeri yang terbatas. Situasi ini turut mendorong meningkatnya ekspor rotan ilegal, yang berdampak pada hilangnya potensi pemasukan devisa dan pajak bagi negara.

Asosiasi Petani dan Pengusaha Rotan Indonesia Raya (APPRIR) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang regulasi terkait rotan. Menurut APPRIR, Permendag 35/2011 sudah seharusnya direvisi karena aturan yang telah berlaku selama 14 tahun ini tidak berhasil mendorong pertumbuhan industri mebel rotan dalam negeri. Sebaliknya, banyak industri pengolahan bahan baku rotan yang gulung tikar, dengan perkiraan hanya sekitar 10% yang masih bertahan.

Baca Juga: Industri Kripto Sumbang Pajak Rp1,09 Triliun Selama 2022-2024

Larangan ekspor bahan baku rotan juga tidak efektif dalam mendukung industri mebel nasional, yang justru beralih ke rotan sintetis atau plastik impor dari Tiongkok. Selain itu, akibat larangan ini, rotan yang tumbuh di hutan terus bertambah tanpa pemanenan yang optimal, sehingga nilai ekonomisnya semakin menurun.

APPRIR mengusulkan agar pemerintah menyusun kebijakan tata kelola ekspor rotan yang lebih adil bagi petani dan pengusaha rotan. Mengingat industri dalam negeri hanya membutuhkan tiga jenis rotan dari sekitar 30 jenis yang ada di Indonesia, maka seharusnya jenis rotan lain diizinkan untuk diekspor. Evaluasi terhadap Permendag 35/2011 menjadi langkah penting agar komoditas rotan dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi Indonesia.

"Hanya ada tiga atau empat jenis rotan yang dibutuhkan oleh industri mebel, terutama rotan sega. Sementara puluhan jenis rotan lainnya tidak pernah dipesan, tetapi tetap dilarang diekspor. Hal ini harus segera dievaluasi," tegas APPRIR.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel:

Berita Terkait