Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Industri Pertambangan Tengah Tertekan, Pengamat Dorong Pemerintah Kaji Ulang Kenaikan Royalti

Industri Pertambangan Tengah Tertekan, Pengamat Dorong Pemerintah Kaji Ulang Kenaikan Royalti Kredit Foto: MIND ID
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli menangapi rencana Pemerintah yang berencana meningkatkan royalti PNBP Penjualan Hasil Tambang (PHT) sektor mineral dan batu-bara.

Menurutnya, kebijakan ini perlu dipikirkan secara matang sehngga tidak menurunkan daya kompetitif industri pertambangan Indonesia di pasar Internasional.

”Kebijakan yang  terburu-buru tanpa memandang aspek lain secara mendalam dan timing yang (kurang) tepat dikuatirkan akan memberikan dampak ganda bagi perekonomian Indonesia,” ujar Rizal kepada Warta Ekonomi, Rabu (26/03/2025).

Baca Juga: Rencana Kenaikan Royalti Nikel, Kadin: Perlu Pertimbangan Matang untuk Jaga Daya Saing

Saat ini, Indonesia perlu menaikkan peringkat ketertarikan investasi (attractiveness index) agar menjadi negara tujuan investasi global. Tahun 2023, berdasarkan data IMD Global Competitiveness Index, Indonesia dapat menaikkan ranking Global competitiveness index menjadi 34 dari 44 tahun sebelumnya. 

Meski begitu, Indonesia masih kalah dari Singapura, China dan Thailand yang mendapatkan nilai berturut-turut di angka 4, 21 dan 30.

”Industri pertambangan sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga komoditas yang ditentukan berdasarkan supply-demand, geopolitik global dan pertumbuhan ekonomi terutama negara industry utama seperti China, USA, Eropa, Jepang, Korea, Taiwan dan India,” lanjutnya.

Baca Juga: APNI Surati Presiden Minta Kenaikan Royalti Nikel Dibatalkan

Secara umum, kata Rizal saat ini harga komoditas tambang sedang mengalami tekanan (kecuali emas) terutama nikel yang disebabkan oleh over supply dan teknologi baterei EV yang berkembang ke arah substitusi nikel. Terutama dengan masifnya pengembangan EV yang menggunakan baterei jenis LFP yang dianggap lebih murah dan efisien. 

Terlebih, kondisi keuangan Perusahaan sangat ditentukan oleh variable harga komoditas, biaya operasional dan kebijakan perpajakan dan lainnya dari pemerintah. 

”Saat ini perusahaan tambang mengalami peningkatan biaya yang sangat signifikan terutama dengan adanya kenaikan PPN, bahan bakar B40, pengenaan DHE Ekspor 100% selama setahun, biaya bunga, dll,” sambungnya. 

Baca Juga: Kenaikan Tarif Royalti Nikel Bisa Picu Praktik Tambang Ilegal

Maka demikian, Rizal mendorong agar Pemerintah mengkaji ulang kapan seharusnya kebijakan kenaikan tarif royalti ini layak diberlakukan. 

”Perlu juga dipertimbangkan apakah tarif royalty kita bersaing dengan negara lainnya terutama negara penghasil utama komoditas tambang seperti Australia, Filipina, Brazil, Chile, Afrika Selatan, dll. Harus menjadi pertimbangan juga bahwa Indonesia belum efisien Dallam hal perizinan sehingga menimbulkan biaya tinggi untuk pengurusan izin-izin tersebut,” tutuppnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: