- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Transisi Energi Berbasis Pulau Dinilai Efektif, Biaya Jaringan Bawah Laut Tak Efisien

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Indonesia memiliki peluang besar mempercepat transisi energi menuju net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat melalui pengembangan sistem energi terdistribusi berbasis pulau.
Pada hasil studi bertajuk Pulau Berbasis 100% Energi Terbarukan dan Fleksibilitas pada Sistem Tenaga Listrik, menunjukan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan iklim tropis, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang merata, khususnya dari tenaga surya.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan bahwa pengembangan energi terbarukan berbasis pulau tidak hanya menjadi kebutuhan geografis, tetapi juga solusi ekonomis dan strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
Baca Juga: Bauran EBT 2025 Diproyeksi Hanya 14,4%, Pemerintah Pacu Co-Firing dan COD Pembangkit
“Melalui kajian ini, kami menemukan bahwa di Sulawesi, fleksibilitas sistem kelistrikan menjadi kunci untuk mengintegrasikan sumber energi terbarukan yang variabel seiring dengan berkembangnya industri di sana," ujar Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (1/7/2025).
Fabby mengatakan, pemanfaatan 100 persen energi terbarukan di Pulau Sumbawa dapat menjadi model bagi negara kepulauan lainnya untuk mencapai kemandirian energi sambil berkontribusi pada tujuan iklim global.
"Selain itu, di Pulau Timor, pengembangan energi surya, angin, dan biomassa dapat menggantikan pembangkit energi fosil, termasuk yang direncanakan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru, dengan harga listrik yang lebih kompetitif,” ujarnya.
Fabby menambahkan bahwa membangun sistem energi terbarukan berbasis pulau lebih efisien dibandingkan membangun jaringan transmisi bawah laut yang bisa mencapai US$ 2–3 juta per kilometer, atau tiga hingga lima kali lebih mahal dari kabel darat.
"Selain efisiensi biaya, pendekatan ini juga mengurangi risiko logistik dan potensi krisis energi akibat ketergantungan pada pengiriman BBM ke pulau-pulau terpencil," ucapnya.
Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Halim,menyebutkan bahwa Sulawesi memiliki potensi energi terbarukan sekitar 63 GW, terutama dari surya dan angin. Berdasarkan pemodelan IESR mengacu pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), bauran energi terbarukan variabel (VRE) di Sulawesi diproyeksikan meningkat dari 2,4 persen pada 2024 menjadi 29 persen pada 2060.
"Dalam jangka pendek (2030–2040), sistem kelistrikan Sulawesi akan bergantung pada fleksibilitas pembangkit dari berbagai sumber energi—baik terbarukan seperti hidro, maupun fosil dan energi baru. Pada jangka panjang, fleksibilitas akan bertumpu pada penyimpanan daya (baterai) untuk skala harian, interkoneksi antar pulau untuk skala mingguan, serta manajemen pasokan musiman," ujar Abraham.
Untuk memperkuat fleksibilitas sistem, IESR merekomendasikan agar pemerintah mengintegrasikan analisis fleksibilitas dalam perencanaan jangka panjang serta memperkirakan kebutuhan operasional lintas waktu. Selain itu, optimalisasi potensi bioenergi, kombinasi energi terbarukan variabel, dan penguatan infrastruktur interkoneksi dinilai penting untuk menekan biaya sistem secara keseluruhan.
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin P. Sisdwinugraha, menyoroti kesiapan Pulau Sumbawa dan Timor dalam mencapai 100 persen energi terbarukan. Provinsi NTB telah menargetkan NZE pada 2050, sedangkan NTT menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 47 persen pada 2034 dalam draf Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
Pulau Sumbawa memiliki potensi energi terbarukan sebesar 10,21 GW, dengan dominasi surya sebesar 8,64 GW. Untuk mewujudkan sistem kelistrikan berbasis 100 persen energi terbarukan, IESR mengusulkan strategi jangka pendek (2025–2035) berupa penggantian proyek pembangkit fosil dalam perencanaan dengan pembangkit berbasis energi terbarukan.
Sementara strategi jangka panjang (2036–2050) difokuskan pada transisi bahan bakar ke hidrogen dan amonia hijau.
Adapun Pulau Timor memiliki potensi total sebesar 30,81 GW, di mana energi surya menyumbang 20,72 GW. Strategi jangka pendek (2025–2035) mencakup penggantian proyek PLTU dan PLTG yang direncanakan dengan energi terbarukan, disertai intervensi menyeluruh dan transparan terhadap RUPTL.
Strategi jangka panjang (2036–2050) mencakup pensiun dini PLTU Timor dan menggantinya dengan PLTS skala besar dengan sistem penyimpanan. Pada 2050, sistem kelistrikan Timor diproyeksikan berasal dari energi surya (82%), mini hidro (9%), angin (6%), dan biomassa (3%).
Baca Juga: Prabowo Resmikan Operasi dan Pembangunan 55 Pembangkit EBT di 15 Provinsi
IESR juga mengusulkan langkah konkret untuk mewujudkan sistem kelistrikan berbasis energi terbarukan penuh, antara lain percepatan pensiun dini PLTU batubara, pengembangan teknologi penyimpanan energi berdurasi panjang, dan reformasi proses perencanaan serta pengadaan energi.
“Transformasi ini memerlukan koordinasi di antara berbagai pemangku kepentingan. Instansi pemerintah harus menyelaraskan kebijakan lintas sektor, penyedia energi perlu berkolaborasi dalam perencanaan regional dan berbagi sumber daya, sementara partisipasi sektor swasta harus didorong melalui kerangka investasi yang jelas dan stabil,” ujar Alvin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Advertisement