Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rasio Gini Stagnan di 0,375, Ketimpangan Dinilai Lebih Parah

Rasio Gini Stagnan di 0,375, Ketimpangan Dinilai Lebih Parah Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio gini Indonesia per Maret 2025 berada di level 0,375. Angka tersebut relatif stagnan dalam lima tahun terakhir, namun sejumlah pakar menilai ketimpangan ekonomi sebenarnya lebih serius dibanding yang tercermin dalam data resmi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menilai ukuran BPS memiliki keterbatasan metodologi. 

“BPS hanya mengukur pengeluaran, bukan pendapatan. Hal ini membuat kesenjangan yang sesungguhnya tidak tercapture, karena kelompok kaya cenderung tidak membuka data penerimaan sebenarnya,” ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk Reformasi Fiskal dan Keadilan Ekonomi dalam Menghadapi Ketimpangan, Rabu (17/9/2025).

Baca Juga: INDEF soal Guyuran Rp200 Triliun ke Perbankan: Masalahnya Likuiditas Tidak Kering, Memang Sektor Riilnya Tidak Bergerak

Ia menambahkan, tren ketimpangan Indonesia berbeda dengan Thailand yang berhasil menurunkannya secara signifikan. Sejak reformasi, Indonesia justru mengalami peningkatan, terutama saat commodity boom 2008. Ledakan ekspor batubara dan sawit memang mendongkrak pendapatan negara, tetapi sekaligus memperlebar kesenjangan sosial.

Imaduddin menyoroti persoalan deindustrialisasi dini. Sektor manufaktur yang seharusnya menyerap tenaga kerja tergeser oleh sektor jasa, sementara indikator tenaga kerja memburuk. 

“Upah riil sempat naik 25% pada 2015–2019, kini justru anjlok 0,8%. Pekerja penuh menurun, setengah pengangguran meningkat, bahkan mereka yang hopeless mencari kerja naik drastis dari 6% di 2019 menjadi 24,4% di 2024,” paparnya.

Menurutnya, kapasitas fiskal yang lemah memperburuk kondisi. 

“Fungsi redistribusi pajak tidak berjalan, justru regresif. Ini membuat keadilan ekonomi semakin sulit diwujudkan,” tegasnya.

Persoalan agraria turut disorot. Benni Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut ketimpangan ekonomi tidak lepas dari masalah tanah.

“Reforma agraria sejati tidak pernah dijalankan serius. Desa-desa terkepung klaim kawasan hutan dan konsesi korporasi, membuat petani kehilangan ruang hidup,” katanya. 

Ia menilai program food estate justru memperburuk situasi karena menggusur petani kecil.

Dari sisi fiskal, Peneliti Prakarsa Victoria Fanggidae menilai struktur pajak Indonesia sangat regresif.

“Penerimaan negara didominasi PPN yang membebani rakyat kecil, sementara kebijakan seperti tax amnesty hanya menguntungkan kelompok kaya,” jelasnya. 

Baca Juga: Demonstrasi Akhir Agustus Jadi Alarm Ketimpangan, INDEF Buka-bukaan Data

Ia menambahkan, opsi pajak kekayaan bisa menambah Rp78 triliun, namun terkendala kemauan politik.

Keterkaitan ketimpangan dengan krisis ekologi diangkat Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry. 

“Enam dari sembilan batas planet sudah dilewati, dan kelompok bawah selalu menjadi yang paling terdampak,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya keadilan sosial, ekonomi, dan agraria untuk menjawab krisis iklim.

Tata Mustasya dari Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) menambahkan dimensi eksklusi politik. 

“Masyarakat merasa tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Ketika orang merasa tereksklusi, muncul keresahan sosial yang bisa mengganggu stabilitas,” katanya. 

Ia menilai keberanian politik pemerintahan baru diperlukan untuk memperbaiki arah kebijakan.

Para pembicara sepakat ketimpangan tidak dapat diselesaikan hanya dengan pertumbuhan ekonomi. Reformasi fiskal progresif, reforma agraria sejati, transisi energi yang adil, dan perluasan jaminan sosial dipandang sebagai langkah kunci untuk mengurangi jurang kesenjangan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: